Sabtu, 15 Agustus 2015

Amalan Tertinggi (Pahala Investasi)


Dalam waktu yang terbatas, manusia mempertaruhkan kehidupannya yang abadi di alam akhirat. Jika ia gagal dalam hidupnya, gagallah ia di akhirat. Jika ia sukses dalam hidupnya, sukseslah ia di akhirat. Maka seluruh manusia akan kembali kepada Tuhannya dalam keadaan ‘menyesal’. Ada yang membawa penyesalan sangat besar, besar, dan kecil. Tergantung amalannya di dunia. Amalan apakah yang dapat memberikan ‘investasi’ besar bagi seorang hamba di akhiratnya, dalam hidup yang singkat ini. Amal itulah yang disebut sebagai “Amalan Tertinggi”.

Amal seperti apakah itu? Download kajian dari Ustadz Dwi Condro Triono, Ph.D dalam Islamic Business Coaching series berikut, disini (box.net) | mirror (4shared)

download presentasi (box.net) | mirror presentasi (4shared)
Invite PIN 7EB722C9 untuk notifikasi kajian terbaru.
Read More

Jumat, 14 Agustus 2015


Pakaian syar’i untuk perempuan memiliki dalil-dalil syariah yang jelas dan gamblang. Pakaian perempuan itu bukan berdasarkan adat kebiasaan.  Artinya, jika masyarakat sudah terbiasa dengan pakaian tersebut maka pakaian itu dipakai; jika masyarakat tidak terbiasa dengannya maka pakaian tersebut tidak akan dipakai kaum perempuan. Pakaian perempuan itu adalah kewajiban yang diwajibkan oleh Allah SWT terhadap perempuan.

Syariah telah mewajibkan pakaian tertentu kepada perempuan ketika keluar dari rumahnya dan beraktivitas dalam kehidupan umum. Syariah telah mewajibkan perempuan agar memiliki pakaian yang ia kenakan di atas pakaiannya ketika ia keluar ke pasar atau berjalan di jalan umum, yakni jilbab, dengan maknanya yang syar’i. Jilbab itu ia kenakan di atas pakaiannya dan ia ulurkan ke bawah hingga menutupi kedua kakinya.

Jika ia tidak memiliki jilbab, hendaknya ia meminjam jilbab dari tetangganya atau temannya atau kerabatnya. Jika ia tidak bisa meminjam atau tidak seorang pun meminjami dirinya maka ia tidak boleh keluar rumah tanpa mengenakan jilbab. Jika ia keluar tanpa memakai jilbab yang ia kenakan di atas pakaiannya (baju sehari-hari yang dikenakan di dalam rumah) maka ia berdosa, sebab ia meninggalkan kewajiban yang telah difardhukan oleh Allah SWT atas dirinya.
Pakaian perempuan yang disyariatkan terdiri dari dua potong. Potongan pertama adalah bagian baju yang diulurkan dari atas sampai ke bawah menutupi kedua kaki.  Bagian kedua adalah kerudung, atau yang menyerupai atau menduduki posisinya berupa pakaian yang menutupi seluruh kepala, leher dan bukaan pakaian di dada. Ini hendaknya disiapkan untuk keluar ke pasar atau berjalan di jalan umum. Jika ia memiliki kedua pakaian ini, ia boleh keluar dari rumahnya ke pasar atau berjalan di jalan umum, yakni keluar ke kehidupan umum. Sebaliknya, jika ia tidak memiliki kedua pakaian ini, ia tidak sah untuk keluar, apapun keadaannya. Sebab, perintah dengan kedua pakaian ini datang bersifat umum dan ia tetap berlaku umum dalam semua kondisi; tidak ada dalil yang mengkhususkannya sama sekali.
Dalil atas kewajiban  ini adalah firman Allah SWT tentang pakaian bagian atas:
وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
Janganlah mereka menampakkan perhiasan-nya, kecuali yang (biasa) tampak pada dirinya. Hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya (QS an-Nur [24]: 31).
Juga firman Allah SWT tentang pakaian bagian bawah:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang Mukmin, “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. (QS al-Ahzab [33]: 59)
Dalil lain adalah hadis penuturan Ummu ‘Athiyah yang berkata:
أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِيْ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى، اَلْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُوْرِ، فَأَمَا الْحَيّضُ فَيَعْتَزلْنَ الصَّلاَةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ، وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِيْنَ. قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِحْدَانَا لاَ يَكُوْنُ لَهَا جِلْبَابٌ، قَالَ: لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا
Rasulullah saw. memerintahkan kami untuk mengeluarkan para perempuan pada Hari Idul Fitri dan Idul Adha; para perempuan yang punya halangan, perempuan yang sedang haid dan gadis-gadis yang dipingit. Adapun perempuan yang sedang haid, mereka memisahkan diri dari shalat dan menyaksikan kebaikan dan seruan kepada kaum Muslim. Aku berkata,  “Ya Rasulullah, salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab.” Rasul saw menjawab, “Hendaknya saudaranya memin-jami dia jilbab.” (HR Muslim)
Dalil-dalil ini jelas dalam dalalah-nya atas pakaian perempuan dalam kehidupan umum. Jadi, dalam dua ayat ini, Allah SWT telah mendeskripsikan pakaian yang Allah wajibkan atas perempuan agar ia kenakan dalam kehidupan umum dengan deskripsi yang dalam, sempurna dan menyeluruh. Allah SWT berfirman tentang pakaian perempuan bagian atas (yang artinya): Hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya (TQS an-Nur [24]: 31). Maknanya, hendaknya mereka mengulurkan penutup kepala mereka di atas leher dan dada mereka, untuk menutupi apa yang tampak dari bukaan baju, dan bukaan baju dari leher dan dada. Allah SWT juga berfirman terkait pakaian perempuan bagian bawah (yang artinya):
Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka (TQS al-Ahzab [33]: 59). Maksudnya, hendaknya mereka menjulurkan atas diri mereka jilbab-jilbab mereka yang mereka kenakan di atas pakaian untuk keluar; hendaknya mereka menjulurkan jilba-jilbab mereka ke bawah.
Allah SWT pun berfirman tentang tatacara umum yang berlaku atas pakaian ini (yang artinya): Janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak pada dirinya (TQS an-Nur [24]: 31). Maknanya, hendaknya mereka tidak menampakkan anggota-anggota tubuh yang merupakan tempat perhiasan seperti kedua telinga, kedua lengan bawah, kedua betis dan selain itu kecuali apa yang bisa tampak dalam kehidupan umum ketika ayat ini turun, yakni pada masa Rasul saw., yaitu wajah dan kedua telapak tangan.
Dengan deskripsi yang mendalam ini maka menjadi jelas sejelas-sejelasnya, apa pakaian perempuan di kehidupan umum dan apa yang wajib atas pakaian itu. Hadis penuturan Ummu ‘Athiyah menjelaskan secara gamblang kewajiban perempuan memiliki jilbab yang ia kenakan di atas pakaiannya ketika ia keluar. Sebab, Ummu ‘Athiyah berkata kepada Rasulullah saw., “Salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab.” Lalu Rasul saw. menjawab, “Hendaknya saudaranya meminjami dia dari jilbab.” Artinya, jika ia tidak dipinjami maka ia tidak tidak boleh keluar. Ini adalah qarinah (indikasi) bahwa perintah dalam hadis ini adalah untuk menyatakan wajib. Artinya, wajib perempuan mengenakan jilbab di atas pakaiannya jika ia ingin keluar. Jika ia tidak mengenakan jilbab maka ia tidak (boleh) keluar.
Jilbab disyaratkan agar dijulurkan ke bawah hingga menutupi kedua kaki karena Allah SWT berfirman (yang artinya): Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka (TQS al-Ahzab [33]: 59). Maknanya, hendaknya mereka menjulurkan jilbab mereka. Kata “min” di sini bukan li at-tab’îdh (menyatakan sebagian), tetapi li al-bayân (untuk penjelasan). Artinya, hendaknya mereka menjulurkan jilbab hingga ke bawah. Dalam hal ini, diriwayatkan dari Ibn Umar bahwa Rasul saw. pernah bersabda:
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ فَكَيْفَ يَصْنَعْنَ النِّسَاءُ بِذُيُولِهِنَّ قَالَ يُرْخِينَ شِبْرًا فَقَالَتْ إِذًا تَنْكَشِفُ أَقْدَامُهُنَّ قَالَ فَيُرْخِينَهُ ذِرَاعًا لاَ يَزِدْنَ عَلَيْهِ
“Siapa yang menjulurkan pakaiannya karena sombong, Allah tidak memandang dirinya pada Hari Kiamat.” Lalu Ummu Salamah berkata, “Lalu bagaimana perempuan memperlakukan ujung pakaiannya.” Rasul menjawab, “Hendaknya mereka menjulurkan-nya sejengkal.” Ummu Salamah berkata, “Kalau begitu tersingkap kedua kaki mereka.” Rasulullah pun menjawab, “Hendaknya mereka menjulurkannya sehasta, jangan mereka lebihkan atasnya.” (HR at-Tirmidzi; ia menyatakan hadis ini  hasan-shahih).
Hadis ini gamblang menjelaskan bahwa jilbab yang dikenakan di atas pakaian itu wajib dijulurkan ke bawah sampai menutupi kedua kaki. Jika kedua kaki ditutupi dengan sepatu atau kaos kaki, itu belum cukup (jika jilbabnya tidak menjulur ke bawah, red.). Jilbab tetap harus menjulur ke bawah hingga kedua kaki dalam bentuk yang menunjukkan adanya irkha’ (dijulurkan) sehingga diketahui bahwa itu adalah pakaian kehidupan umum yang wajib dikenakan perempuan di kehidupan umum. Jilbab harus tampak irkha’ sebagai realisasi dari  firman Allah: “yudnîna” yakni yurkhîna (hendaknya mereka menjulurkan).
Seperti yang Anda lihat, pakaian perempuan itu merupakan pakaian yang sudah dibatasi dengan pembatasan yang jelas dengan nas-nas yang gamblang (sharih), tidak ada kerancuan dan keraguan dalam dalalah-nya. Karena itu Rasulullah saw., ketika ditanya oleh Ummu ‘Athiyah tentang keluar rumahnya  perempuan yang tidak punya jilbab, maka beliau menjawab agar perempuan itu meminjam jilbab dari tetangganya atau ia tidak keluar. Ini adalah dalalah yang kuat yang menunjukkan kewajiban pakaian ini sebagai kewajiban syar’i. [Sumber: Nasyrah Soal-Jawab Amir HT/Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, 1 Muharram 1435/4 November 2013]
Read More

Meraih Kemerdekaan Hakiki



Indonesia memang sudah 70 tahun merdeka dari penjajahan fisik (militer). Namun, sejak merdeka tahun 1945 dari penjajahan fisik (militer) hingga saat ini, sesungguhnya negeri ini masuk dalam perangkap penjajahan gaya baru, yakni penjajahan non-fisik (non-militer). Artinya, hingga kini Indonesia sesungguhnya masih terjajah dan belum sepenuhnya merdeka secara hakiki.
Masih Terjajah
Penjajahan (imperialisme) adalah politik untuk menguasai wilayah lain demi kepentingan pihak yang menguasai. Penjajahan gaya lama dilakukan dengan kekuatan militer, mengambil-alih dan menduduki satu wilayah serta membentuk pemerintahan kolonial di negara/wilayah jajahan. Namun, cara ini secara umum sudah ditinggalkan karena membangkitkan perlawanan dari penduduk wilayah yang dijajah, yang merasakan langsung penjajahan secara nyata. Karena itu penjajahan akhirnya dilakukan dengan gaya baru yang tak mudah dirasakan oleh pihak terjajah, yaitu melalui kontrol serta menanamkan pengaruh ekonomi, politik, pemikiran, budaya, hukum dan hankam atas wilayah yang dijajah. Namun, tujuan akhirnya sama, yaitu mengalirkan kekayaan wilayah itu ke negara penjajah.
Indonesia adalah contoh nyata negeri yang masih terjajah. Dari sisi pembuatan aturan dan kebijakan, banyak sekali UU di negeri ini yang didektekan oleh pihak asing. Di antaranya melalui LoI dengan IMF. Banyak utang—yang sesungguhnya menjadi alat penjajahan—dialirkan ke Indonesia oleh berbagai lembaga donor baik IMF, Bank Dunia, ADB, Usaid dan sebagainya. Perubahan konstitusi negeri ini pun tak lepas dari peran dan campur tangan asing. Banyak dari UU itu disponsori bahkan draft (rancangan)-nya dibuat oleh pihak asing, di antaranya melalui program utang, bantuan teknis, dan lainnya.
Akibatnya, lahir banyak UU dan kebijakan Pemerintah yang bercorak neoliberal, yang lebih menguntungkan asing dan swasta serta merugikan rakyat banyak. UU bercorak liberal itu hakikatnya melegalkan penjajahan baru (neoimperialisme) atas negeri ini. Karena itu meski sudah 70 tahun “merdeka”, negeri ini masih banyak bergantung pada asing. Bahan pangan baik makanan pokok, garam, gandum, kedelai, susu, dan lain-lain banyak impor. Akibat ketergantungan itu, ditambah permainan para pelaku pasar yang berwatak kapitalis, gejolak harga-harga menjadi fakta keseharian. Melonjaknya harga daging sapi dan cabe saat ini adalah salah satunya.
Akibat UU dan kebijakan neoliberal, sumberdaya alam dan kekayaan negeri ini lebih banyak dikuasai oleh swasta asing. Pengerukan kekayaan negeri demi kemakmuran asing yang dijalankan oleh banyak perusahaan asing pun—mirip zaman VOC dulu—terus berlangsung. Yang paling baru, PT Freeport yang telah mengeruk kekayaan emas di bumi Papua baru saja diberi perpanjangan ijin mengekspor konsentrat tembaga sebanyak 775 ribu ton.
Di sisi lain, juga lahir banyak kebijakan neoliberal yang meminimalkan peran negara dalam mengurus rakyat. Bahkan tanggung jawab negara dialihkan ke pundak rakyat. Tanggung jawab pelayanan kesehatan rakyat, misalnya, dialihkan dari negara ke pundak rakyat melalui asuransi sosial kesehatan (BPJS).
Berbagai sektor juga diliberalisasi. Subsidi BBM dicabut sehingga harganya sering naik. Subsidi listrik juga dicabut sehingga harganya pun dibiarkan naik terus. Ongkos pendidikan mahal. Biaya produksi petani terus naik. Pajak makin bertambah macamnya dan meningkat besarannya. Masih banyak kebijakan neoliberal lainnya. Akibatnya, beban rakyat makin berat. Semua itu hanyalah bukti nyata, kemerdekaan yang dirasakan oleh penduduk negeri ini masih bersifat semu (palsu).
Kemerdekaan Hakiki
Kemerdekaan hakiki adalah saat manusia bebas dari segala bentuk penjajahan, eksploitasi dan penghambaan kepada sesama manusia. Mewujudkan kemerdekaan hakiki itu merupakan misi dari Islam. Islam diturunkan oleh Allah SWT untuk menghilangkan segala bentuk penjajahan, eksploitasi, penindasan, kezaliman dan penghambaan terhadap manusia oleh manusia lainnya secara umum. Yunus bin Bukair ra. menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah menulis surat kepada penduduk Najran, di antara isinya:
… أَمّا بَعْدُ فَإِنّي أَدْعُوكُمْ إلَى عِبَادَةِ اللّهِ مِنْ عِبَادَةِ الْعِبَادِ وَأَدْعُوكُمْ إلَى وِلاَيَةِ اللّهِ مِنْ وِلاَيَةِ الْعِبَادِ …
Amma ba’du. Aku menyeru kalian ke penghambaan kepada Allah dari penghambaan kepada hamba (manusia). Aku pun menyeru kalian ke kekuasaan (wilâyah) Allah dari kekuasaan hamba (manusia) … (Ibn Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, v/553, Maktabah al-Ma’arif, Beirut).
Misi mewujudkan kemerdekaan hakiki untuk seluruh umat manusia itu juga terungkap kuat dalam dialog Jenderal Rustum dengan Mughirah bin Syu’bah yang diutus oleh Panglima Saad bin Abi Waqash. Pernyataan misi itu diulang lagi dalam dialog Jenderal Rustum (Persia) dengan Rab’iy bin ‘Amir (utusan Panglima Saad bin Abi Waqash) yang diutus setelah Mughirah bin Syu’bah pada Perang Qadisiyah untuk membebaskan Persia. Jenderal Rustum bertanya kepada Rab’iy bin ‘Amir, “Apa yang kalian bawa?” Rab’iy bin menjawab:
اَللهُ اِبْتَعَثْنَا وَاللهِ جَاءَ بِنَا لِنُخْرِجَ مَنْ شَاءَ مِنْ عِبَادَةِ الْعِبَادِ إِلَى عِبَادَةِ اللهِ وَمِنْ ضَيْقِ الدُّنْيَا إِلَى سَعَتِهَا وَمِنْ جَوْرِ اْلأَدْيَانِ إِلَى عَدْلِ اْلإِسْلاَمِ
“Allah telah mengutus kami. Demi Allah, Allah telah mendatangkan kami agar kami mengeluarkan siapa saja yang mau dari penghambaan kepada hamba (manusia) menuju penghambaan hanya kepada Allah, dari kesempitan dunia menuju kelapangannya dan dari kezaliman agama-agama (selain Islam) menuju keadilan Islam….” (Ibnu Jarir ath-Thabari, Târîkh al-Umam wa al-Muluk, ii/401, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut). 
Di antara modus penghambaan kepada sesama manusia itu adalah melalui aturan hukum dan perundang-undangan buatan manusia, sesuai doktrin demokrasi. Apalagi aturan hukum dan perundang-undangan itu diimpor dari pihak asing/penjajah, seperti yang terjadi pada banyak bangsa terjajah, termasuk yang terjadi pada negeri ini.
Islam dengan inti ajarannya yaitu tauhid akan membebaskan manusia dari penghambaan ala demokrasi ini. Pasalnya, dalam Islam penyerahan kekuasaan membuat hukum (menentukan halal-haram) kepada manusia—sesuai doktrin demokrasi—adalah satu bentuk syirik. Syirik seperti itulah yang telah mengakar pada Bani Israel.
]اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللَّهِ …[
Mereka menjadikan para pendeta dan para rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah… (TQS at-Taubah [9]: 31).
Makna ayat tersebut dijelaskan dalam riwayat dari jalur Adi bin Hatim ra. Ia menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah membaca ayat tersebut lalu bersabda:
« أَمَا إِنَّهُمْ لَمْ يَكُونُوا يَعْبُدُونَهُمْ وَلَكِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا أَحَلُّوا لَهُمْ شَيْئًا اسْتَحَلُّوهُ وَإِذَا حَرَّمُوا عَلَيْهِمْ شَيْئًا حَرَّمُوهُ »
Mereka memang tidak menyembah para rahib dan pendeta mereka. Namun, jika para rahib dan pendeta mereka menghalalkan untuk mereka sesuatu maka mereka pun menghalalkannya, dan jika para rahib dan pendeta mereka mengharamkan atas mereka sesuatu maka mereka pun mengharamkannya (HR at-Tirmidzi).
Di sinilah Islam datang untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penghambaan kecuali penghambaan hanya kepada Allah SWT. Islam datang untuk membebaskan manusia dari kesempitan dunia akibat penerapan aturan buatan manusia menuju kelapangan dunia. Islam juga datang untuk membebaskan manusia dari kezaliman agama-agama dan sistem-sistem selain Islam menuju keadilan Islam. Hal itu diwujudkan oleh Islam dengan membawa ajaran tauhid yang meniscayakan bahwa pengaturan kehidupan manusia haruslah dengan hukum dan perundang-undangan yang bersumber dari wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT, Zat Yang Maha Adil dan Maha Bijaksana.
Semua itu akan menjadi nyata di tengah kehidupan dan bisa dirasakan oleh masyarakat ketika ajaran tauhid, hukum dan perundang-undangan yang dibawa oleh Islam itu diambil dan diterapkan untuk mengatur semua urusan kehidupan. Tanpa itu maka kemerdekaan hakiki, kelapangan dunia dan keadilan Islam itu tidak akan terwujud. Selama aturan, hukum dan sistem buatan manusia yang bersumber dari akal dan hawa nafsunya terus diterapkan dan dipertahankan maka selama itu pula akan terus terjadi penjajahan, kesempitan dunia dan kezaliman. Allah SWT telah memperingatkan hal itu dalam firman-Nya, QS Thaha [20] ayat 124.
Wahai Kaum Muslim:
Sebagian makna kemerdekaan yang sudah diraih negeri ini dan penduduknya semestinya dilanjutkan dengan usaha sekuat tenaga untuk mewujudkan kemerdekaan yang hakiki. Caranya adalah melalui perjuangan sungguh-sungguh untuk menerapkan aturan dan hukum Allah SWT, yakni syariah Islam, untuk mengatur segala urusan kehidupan di masyarakat. Semua itu hanya bisa diwujudkan di bawah sistem Khilafah Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian. Dengan itu maka kemerdekaan hakiki bisa diwujudkan, kelapangan dunia bisa dirasakan oleh seluruh rakyat dan keadilan bisa dinikmati oleh siapa saja. Hal itu pasti terwujud karena merupakan janji Allah SWT dan kabar gembira dari Rasulullah saw. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Al-Islam edisi 767, 29 Syawal 1436 H – 14 Agustus 2015 M] 

Read More
Berita ini diambil dari salah satu forum terbesar di Indonesia yang memberikan gambaran real mengenai bentuk MOS/ OSPEK antara di Indonesia vs di Luar Negri.

Dari jaman mama saya sekolah tahun 70an, sampai adik saya yang paling kecil masuk sekolah hari ini, namanya Masa Orientasi Siswa atau MOS benar-benar menjadi momok yang sangat menakutkan (bagi segelintir orang).

OSPEK/ MOS di Luar Negeri

Mengenalkan mahasiswa baru pada lingkungan kampus, lingkungan tempat tinggal, makanan di sana,presentasi dan kegiatan mendidik lainya dll.


OSPEK/ MOS di Indonesia
  • Lebih mengedepankan “siksaan” fisik (biasanya yang banyak masuk media) daripada tujuan orientasi sekolah itu sendiri.
  • Sebagai ajang balas dendam senior ke junior.
  • Kegiatan yang dilakukan selama MOS nggak ada hubungannya dengan pendidikan yang kita ambil dan gak ada manfaatnya ketika kita hidup bermasyarakat.
  • Kalau ada maba cantik dikit langsung didekati senior cowok dan diperlakukan istimewa, tapi dijutekin senior cewek.

Ya, walaupun tidak semua sekolah maupun perguruan tinggi di Indonesia bertindak seperti itu, semoga dengan adanya gambaran ini mereka yang katanya mengaku sebagai SENIOR dan mengedepankan SENIORITASnya kepada di JUNIOR dapat berfikir bagaimana caranya agar para calon student dapat ilmu juga pada saat orientasi (ilmu yang positif tentunya, bukan di plontosin) .


Read More

Pandangan Hizbut Tahrir terhadap Syiah


Pertanyaan :
Bagaimana pandangan Hizbut Tahrir terhadap Syiah? Apakah mereka kafir, sesat ataukah ia merupakan madzhab yang dibolehkan untuk beribadah dengannya?
Jawaban :
Pandangan Hizbut Tahrir Terhadap Syi’ah Itsnaa ‘Asyariyyah, Menurut Jubir HT Libanon.
Seorang peneliti yang bermaksud menyusun sebuah makalah tentang pendirian Hizbut Tahrir terhadap Syi’ah, yang kemudian hendak dipresentasikannya dalam sebuah seminar di Kota Najaf, menyodorkan sejumlah pertanyaan kepada ketua Maktab I’lami, katakanlah juru bicara, Hizbut Tahrir wilayah Libanon, Ustadz Ahmad al-Qashash. Pertanyaan tersebut menyangkut bagaimana pendirian Hizbut Tahrir terhadap pemikiran Syi’ah, pandangan HT terhadap konflik antara ‘Utsmani vs Shafawi, konflik yang berkobar antara Sunni vs Syi’ah, dan pandangan HT terhadap pemerintah Iran, terutama pasca keterlibatan Iran bersama pemerintahan Basyar dalam memerangi penduduk Suriah. Berikut ini adalah terjemahan dari jawaban beliau terkait pertanyaan yang pertama:
Peneliti bertanya: “Secara umum, bagaimana pandangan Hizbut Tahrir terhadap Syi’ah? Apakah mereka kafir, sesat ataukah ia merupakan madzhab yang dibolehkan untuk beribadah dengannya?”
Ahmad al-Qashash menjawab:
“Telah dimaklumi bahwa istilah syi’ah memiliki pengertian yang luas, ia meliputi banyak kelompok (firqah), sehingga bermacam kelompok Syi’ah tidak memiliki pemikiran yang seragam dalam membangun doktrin kesyi’ahan mereka. Orang-orang yang menuhankan Imam Ali radliyallahu Ta’ala ‘anhu, demikian halnya dengan mereka yang menyatakan bahwa Malaikat Jibril ‘alaihis salam telah mengalami kekeliruan/kebingungan (dalam mengalamatkan wahyu –pent) juga tergabung dalam kelompok-kelompok Syi’ah. Sudah barang tentu bahwa mereka merupakan kelompok yang murtad dari Islam, bagaimana pun juga, mereka tidak boleh menisbatkan diri kepada Islam. Di sisi lain, Zaidiyah -yang tidak menyatakan kema’shuman para Imam, yang tidak pula menyatakan adanya “penetapan langit” (an-nash a-Ilahiy) bagi para pengganti (khulafaa’) Rasulullah ‘alaihis salam, yang berpendapat bahwa ‘Ali radliyallahu ‘anhu merupakan pengganti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling afdlal seraya berpendapat bahwa kepemimpinan orang yang kurang afdlal adalah sah- juga tercakup dalam istilah syi’ah. Antara mereka –Zaidiyyah- dengan Ahlus Sunnah tidak terdapat perbedaan yang terlalu signifikan. Terlebih lagi, seiring dengan berlalunya waktu dan semakin menjauhnya masa dari zaman awal Islam, perbedaan di antara mereka –Zaidiyyah- dengan Ahlus Sunnah hampir tidak memiliki pengaruh apa pun pada zaman kita sekarang. Atas dasar itu, pertanyaan tersebut, secara praktis, hampir-hampir hanya tertuju pada (syi’ah) Imamiyyah al-Itsnaa ‘Asyariyyah (sekte Syi’ah yang banyak berkembang saat ini, terutama di Iran, Irak dan Libanon -pent).
Telah dimaklumi bahwa Hizbut Tahrir tidak mengkafirkan (syi’ah) Imamiyyah al-Itsnaa ‘Asyariyyah seraya masih menganggap mereka sebagai bagian dari kaum muslimin. Meskipun ia (HT) berselisih dengan mereka (al-Itsna ‘Asyariyyah) dalam pemikiran pokok yang membangun madzhab mereka, akan tetapi ia (HT) tidak memandang bahwa pemikiran tersebut mengharuskan jatuhnya vonis takfir (takfir). Tentu saja, ini tidak termasuk sikap ekstrim (ghuluww) yang menyebabkan sejumlah pihak yang berafiliasi kepada al-Itsnaa ‘Asyariahterjerumus ke dalam kekufuran, seperti menuduh Ummul Mu’minin ‘Aisyah radliyallahu ‘anha telah melakukan “perbuatan keji” (zina), atau berpandangan bahwa al-Qur’an telah mengalami penyimpangan, atau pandangan lain yang terhitung sebagai suatu bentuk sikap ghuluww (ekstrim).
Dalam konteks ini, harus ditunjukkan bahwa Hizbut Tahrir membedakan antara Fiqh Ja’fari, yang terhitung sebagai salah satu madzhab fiqh Islam yang mu’tabar (otoritatif) di antara kaum muslimin, baik Sunni maupun Syi’ah, di satu sisi; dengan pemikiran yang mendasari Madzhab Imamiyyah al-Itsnaa ‘Asyariyyah, di sisi yang lain, yang secara kronologis, pemikiran tersebut (al-Itsna ‘Asyariyyah) muncul lebih belakang ketimbang masa hidup Imam Ja’far rahimahullahu Ta’ala. Sebagaimana di ketahui, terdapat perdebatan yang luas seputar otentisitas penisbatan sebagaian pandangan fiqhiyah kepada Imam Ja’far. Atas dasar itu, sesungguhnya kami, tatkala mendiskusikan pemikiran Imamiyyah al-Itsna ‘Asyariyyah, tidak membicarakannya sebagai bagian dari fiqh Ja’fari. Kapan munculnya pemikiran ini (al-Itsna ‘Asyariyyah) dan siapa yang mematangkan pemikiran tersebut, bagi kami itu tidak terlalu penting. Yang jelas, pemikiran tersebut saat ini eksis dan memiliki belasan juta pengikut, kami hanya membaca dan mendiskusikannya sebagai pemikiran yang saat ini dipegang oleh para pemeluknya.
Sesungguhnya, ketika Hizbut Tahrir tidak mengkafirkan (Syi’ah) Imamiyyah al-Itsna ‘Asyariyyah, itu tidak berarti bahwa ia (HT) menganggap seluruh pemikiran mereka sebagai pemikiran yang Islami. Itu hanya berarti bahwa, menurutnya (HT), pemikiran tersebut tidak mengeluarkan mereka dari wilayah Islam. Dan Hizbut Tahrir tidak bersifat abstain/netral, sebagaimana dipikirkan oleh sebagian orang, terhadap beberapa masalah yang mendasari pemikiran (sya’ah) Imamiy al-Itsna ‘Asyariy, yang selama ini menjadi objek perselisihan antara (Syi’ah) Imamiyyah  dengan seluruh kaum muslimin.
Hizbut Tahrir secara khusus telah membantah dua pemikiran yang menjadi asas bagi tegaknya Madzhab al-Itsnaa ‘Asyariy, dalam kapasitasnya sebagai pemikiran orisinil dan memiliki bobot serta porsi tertentu dalam tsaqafah mereka. Yang saya maksud dengan dua pemikiran itu adalah: pemikiran tentang “penunjukkan langit” (an-nash al-Ilahi) terhadap para pengganti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (khulafa’); serta pemikiran tentang wajibnya sifat ma’shum (bebas dari dosa) bagi imam (kepala negara -pent), dengan anggapan bahwa Daulah Islamiyyah merupakan sebuah daulah ilahiyah (“negara langit”). Hizbut Tahrir menjelaskan bahwa kedua pemikiran ini tidak didasarkan pada dalil-dalil yang otoritatif (mu’tabar). Bantahan tersebut terdapat di dalam kitab asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah jilid yang ke-2, dengan judul: yang pertama, “Asy-Syari’ tidak menunjuk orang tertentu untuk (memegang) khilafah”; dan yang kedua, “Daulah Islamiyyah merupakan negara manusiawi (daulah basyariyyah), bukan “negara langit” (laisat daulatan ilahiyyah).”
Lebih dari itu, Hizbut Tahrir juga memiliki pandangan-pandangan yang bersentuhan langsung dengan masalah-masalah yang menjadi dampak ikutan dari kedua pemikiran tersebut, yang juga menjadi objek polemik di antara (syi’ah) Imamiyyah al-Itsna ‘Asyariyyah dengan mayoritas kaum muslimin. Hizbut Tahrir menolak perbuatan mencela para shahabat ridlwanullah ‘alaihimHT meyakini bahwa mereka semua adalah adil meski pun tidak sepenuhnya suci (ma’shum) dari kesalahan dan maksiat; bahkan, (Hizbut tahrir) meyakini bahwa ijma’ mereka merupakan dalil syari’at Islam, bukan karena pendapat seorang shahabat merupakan dalil syar’i, melainkan karena ijma’ mereka merupakan suatu hal yang dapat menyingkap dalil yang tersembunyi dari kita (sunnah –pent). Hanya saja, Hizbut Tahrir memiliki definisi shahabat yang lebih teliti. Hizbut Tahrir tidak mengikuti pendapat yang mendefinisikan shahabat sebagai setiap orang yang melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi ia berpendapat bahwa shahabat adalah mereka yang merealisasikan arti persahabatan (dengan Rasul) secara nyata. Ini adalah pendapat sejumlah besar dari kalangan ulama Islam, terutama para ahli ushul fiqh di antara mereka. Dan (Hizbut tahrir) berpendapat bahwa dalil-dalil syara’ terbatas pada al-Kitab dan as-Sunnah, serta apa yang ditunjuk oleh keduanya (sebagai dalil), yaitu qiyas dan ijma’ para shahabat. Apa yang dimaksud dengan sunnah adalah segala yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik berupa perkataan, perbuatan maupun persetujuan; dan tentu saja (sunnah) tidak termasuk pendapat dan ijtihad yang berasal dari salah satu shahabat –radliyallahu ‘anhum jami’an- yang menjadi anggota Alu Bait.
Atas dasar itu, telah diketahui bahwa di dalam barisan Hizbut Tahrir terdapat sejumlah anggota yang memegangi Madzhab Ja’fari. Akan tetapi, dengan segenap penegasan, setelah mereka mengadopsi tsaqafah Hizbut Tahrir, mereka bukanlah orang-orang Imamiyyah Itsna ‘Asyariyyah, mereka tidak mengatakan bahwa para imam itu ma’shum, tidak mengatakan adanya penunjukan langit terhadap para pengganti (khulafaa’) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak meyakini tentang al-badaa’ (bada’ adalah naskh/penghapusan wahyu yang memuat khabar ghaib -pent), mereka (anggota HT) meyakini bahwa masa keempat khalifah pertama merupakan masa al-Khilafah ar-Rasyidah, dan berpandangan bahwa masa-masa setelah Khilafah Rasyidah, baik para (khalifah) Umawiyyin, ‘Abbasiyyin dan ‘Utsmaniyyin, merupakan masa-masa berlangsungnya khilafah Islamiyyah, yang di dalamnya diterapkan system Islam -terlepas dari adanya keburukan-keburukan dalam penerapannya-, mereka juga mempercayai keadilan seluruh shahabat, ijma’ mereka merupakan dalil syar’i, sebagaimana Hizbut Tahrir juga tidak mengakui keabsahan akad mut’ah seraya tidak mengijinkan seorang pun di antara anggotanya untuk melakukannya.”
Sumber: https://www.facebook.com/kasas.ahmad/posts/716386001737624
Pembela khilafah menambahkan: di antara pandangan HT yang juga bertentangan dengan Syi’ah al-Itsnaa ‘Asyariyyah adalah tentang taqiyah. Dalam Haditsush Shiyam demikian pula dalam penjelasan amir-nya, Hizbut Tahrir menegaskan keharaman taqiyyah, kecuali dalam kondisi sangat terancam di negeri kufur. HT juga tidak menerima kehujjahan perkataan imam syi’ah dan ijma’ ahlil bait, sebaliknya, HT menerima kehujjahan ijma’ semua shahabat dan qiyas (lihat Syakhshiyyah III). Pengharaman mut’ah, dan anggapan bahwa ia adalah zina, ada dalam sebuah soal jawab pada masa Syaikh Taqiyyuddin. Tentang keadilan semua shahabat, penjelasannya ada di syakhshiyyah jilid I. Tentang pengakuan terhadap keimaman Abu Bakar, Umar, Utsman serta para khalifah Bani Umayyah, Abbas dan Utsman, itu tersebar dalam berbagai kitab, booklet dan nasyrah HT. Tentang bada’, maka HT tidak pernah mengatakan terjadinya nasakh pada khabar ghaib, sehingga seolah ilmu Allah berubah, melainkan nasakh hanya terjadi pada hukum saja, lihat Syakhshiyyah III. () syabab indonesia
Sumber:http://www.titokpriastomo.com/pemikiran-islam/pandangan-hizbut-tahrir-terhadap-syiah-itsnaa-asyariyyah-menurut-jubir-ht-libanon.html
Read More

Sabtu, 01 Agustus 2015


Al-Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, atau yang dikenal sebagai Husain Radhiyallahu ‘anhu, adalah cucu Rosululloh Shallalahu alaihi wa sallam, buah hati dan kecintaannya di dunia. Ia adalah saudara Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, penghulu pemuda penduduk surga. Kedudukan tinggi tersebut tidak ia peroleh, kecuali ia lakoni dengan ujian dan cobaan, dan sungguh Husain Radhiyallahu ‘anhu telah berhasil melewati ujian tersebut secara penuh dengan kesabaran dan keteguhan (tsabat) yang sempurna hingga menemui Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Rosululloh Shallalahu alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu, “Sesungguhnya ini adalah malaikat yang belum pernah turun ke bumi sebelum ini, ia meminta izin kepada Robbnya untuk mengucapkan salam kepadaku dan menyampaikan kabar gembira bahwa Fathimah adalah penghulu kaum wanita penghuni surga dan bahwasanya Hasan serta Husain adalah penghulu para pemuda penghuni surga.” (HR. Tirmidzi, dishahihkan oleh al-Albani).

Husain Radhiyallahu ‘anhu dan Kronologis Syahidnya

Setelah kekhilafahan dilimpahkan kaum Muslimin kepada Hasan bin ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu, kemudian ia turun (lengser) darinya untuk diberikan kepada Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu untuk memelihara darah kaum Muslimin, dengan syarat selanjutnya Mu’awiyah sendiri yang akan menyerahkan kembali kekhilafahan kepada Hasan Radhiyallahu ‘anhu. Akan tetapi Hasan meninggal dunia sebelum Mu’awiyah meninggal. Maka ketika itu Mu’awiyah memberikan kekhilafahan kepada anaknya, Yazid. Tatkala Mu’awiyah meninggal, maka Yazid memegang perintah, dan Husain enggan memba’iatnya, lalu ia keluar dari Madinah menuju ke Mekkah dan menetap di sana.

Kemudian golongan pendukung ayahnya dari Syi’ah Kufah mengirim surat kepada Husain agar ia keluar bergabung menemui mereka. Mereka menjanjikan akan menolongnya jika ia telah bergabung. Maka Husain tertipu dengan janji mereka, dan mengira bahwa mereka akan merealisasikannya untuk memperbaiki kebijakan yang buruk dan untuk meluruskan penyelisihan yang diawali pada kekhilafahan Yazid bin Mu’awiyah.

Perbuatan Husain Radhiyallahu ‘anhu untuk bergabung dengan penduduk Kufah sendiri dinilai salah oleh para penasehatnya. Di antara mereka adalah Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, ‘Abdulloh bin Ja’far Radhiyallahu ‘anhum dan lainnya. Bahkan ‘Abdulloh bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu terus mendesak kepada Husain agar tetap tinggal di Mekkah dan tidak keluar. Namun dengan dilandasi baik sangka, Husain menyelisihi permusyawarahan mereka dan keluar, lalu Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata kepadanya, “Aku menitipkanmu kepada Alloh dari pembunuhan!”.

Begitu Husain Radhiyallahu ‘anhu keluar, ia menemui Farozdaq di jalan yang berkata kepadanya, “Berhati-hatilah engkau, mereka bersamamu namun pedang-pedang mereka bersama Bani Umayyah. Mereka adalah Syi’ah yang mengirim surat kepadamu, dan mereka menginginkanmu untuk keluar (ke tempat mereka), tetapi hati-hati mereka tidak bersamamu. Secara hakiki mereka mencintaimu, akan tetapi pedang-pedang mereka terhunus bersama Bani Umayyah!”

Akhirnya, sangat jelas sekali tampaklah pengkhianatan Syi’ah ahli Kufah, walau mereka sendiri yang mengharapkan kedatangan Husain Radhiyallahu ‘anhu. Maka wakil penguasa Bani Umayyah, ‘Ubaidillah bin Ziyad yang mengetahui sepak terjang Muslim bin ‘Aqil yang telah membai’at Husain, segera mendatangi Muslim dan langsung membunuhnya sekaligus tuan rumah yang menjamunya, Hani bin Urwah al-Muradi. Dan kaum Syi’ah Kufah hanya diam seribu bahasa melihat pembantaian dan tidak memberikan bantuan apa-apa, bahkan mereka mengingkari janji mereka terhadap Husain Radhiyallahu ‘anhu. Hal itu mereka lakukan karena ‘Ubaidillah bin Ziyad telah memberikan segepok uang kepada mereka.

Maka ketika Husain Radhiyallahu ‘anhu keluar bersama keluarga dan pengikutnya, berangkat pula Ibnu Ziyad untuk menghancurkannya di medan peperangan, maka terbunuhlah Husain Radhiyallahu ‘anhu dan terbunuh pula semua sahabat yang mendampinginya secara terzhalimi dan dapat dianggap sebagai pembantaian sadis. Kepala mulianya terpotong, lalu diambil oleh para wanita dan anak-anak yang berada di antara pasukan dan diberikan paksa kepada Yazid di Damaskus. Ketika melihat kepala Husain dibawa ke hadapannya saat itu, Yazid pun sedih dan menangis. Kemudian para wanita dan anak-anak dikembalikan ke kota, sedangkan anak laki-laki ikut terbunuh, sehingga tidak tersisa dari anak-anak (Husain) kecuali ‘Ali Zainul Abidin yang ketika itu masih kecil.

Kemanakah Syi’ah Kufah Pendusta dan Pengkhianat?
Sejak pertama, Syi’ah Kufah sudah takut berperang dan telah “siap” menjual kehormatan mereka dengan harta. Mereka merencanakan pengkhianatan untuk mendapatkan kekayaan dan kedudukan semata, walaupun hal itu harus dibayar dengan menyerahkan salah seorang tokoh Ahlul Bait, Husain Radhiyallahu ‘anhu. Mereka tidak memberikan pertolongan kepada Muslim bin ‘Aqil, dan ternyata tidak pula ikut berperang membantu Husain Radhiyallahu ‘anhu.
Dalam tragedi mengenaskan ini, di antara Ahlul Bait lainnya yang gugur bersama Husain Radhiyallahu ‘anhu adalah putera ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu lainnya, yaitu Abu Bakar bin ‘Ali, ‘Umar bin ‘Ali, dan ‘Utsman bin ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu. Juga putera Hasan sendiri, Abu Bakar bin Hasan Radhiyallahu ‘anhu. Namun anehnya, ketika kita mendengar kaset-kaset, ataupun membaca buku-buku Syi’ah yang menceritakan kisah pembunuhan Husain Radhiyallahu ‘anhu, keempat Ahlul Bait tersebut tidak pernah diungkit. Lantas, apa tujuannya?
Tentu saja, agar para pengikut Syi’ah tidak memberi nama anak-anak mereka dengan tiga nama sahabat Rosululloh Shallalahualaihi wa sallam yang paling dibenci orang-orang Syi’ah, bahkan yang dilaknat oleh mereka setiap harinya.
Melihat kebusukan perangai dan pengkhinatan Syi’ah, Husain Radhiyallahu ‘anhu dalam doanya yang sangat terkenal sebelum wafat atas mereka adalah “Ya Alloh, apabila Engkau memberi mereka kenikmatan, maka cerai-beraikanlah mereka, jadikanlah mereka menempuh jalan yang berbeda-beda, dan janganlah restui para pemimpin mereka selamanya, karena mereka telah mengundang kami untuk menolong kami, namun ternyata malah memusuhi kami dan membunuh kami!”.
Konspirasi dibalik Terbunuhnya Husain Radhiyallahu ‘anhu
Di balik tragedi Karbala, yaitu terbunuhnya Husain Radhiyallahu ‘anhu dan banyak Ahlul Bait lainnya serta rombongan yang menyertainya, ada rahasia besar yang harus diketahui, yaitu:
1. Ternyata yang membunuh Husain Radhiyallahu ‘anhu adalah ‘Ubaidillah bin Ziyad yang berkolaborasi dengan Syi’ah Husain.
Fakta ini bahkan diakui oleh sejarawan Syi’ah sendiri, Mulla Baqir al-Majlisi, Qadhi Nurullah Syustri dan lainnya, tentunya selain fakta sejarah yang jelas dan mengedepankan nilai ilmiah yang selama ini telah banyak beredar.
Mereka adalah para pengkhianat, musuh-musuh semua kaum Muslimin, bukan hanya bagi Ahlus Sunnah saja.
2. Kecintaan Syi’ah terhadap Ahlul Bait hanyalah isapan jempol dan kebohongan yang dipropagandakan.
Bahkan yang Syi’ah da’wahkan tiada lain merupakan upaya untuk menghidupkan kembali pemikiran-pemikiran Majusi Saba’iyah (pengikut Abdulloh bin Saba’).
3. Keadaan Syi’ah yang selalu diburu dan dihukum oleh kerajaan-kerajaan Islam di sepanjang masa dalam sejarah membuktikan dikabulkannya doa Husain Radhiyallahu ‘anhu di medan Karbala akan adzab Syi’ah.
4. Upacara dan ritual Asyura’-an, seperti menyiksa badan dengan cara memukul-mukul tubuh dengan rantai, pisau dan pedang pada 10 Muharram dalam bentuk perkabungan yang dilakukan oleh Syi’ah sehingga mengalirkan darah, juga merupakan bukti diterimanya doa Husain Radhiyallahu ‘anhu, bahkan mereka terhina dengan tangan mereka sendiri.
Dari upaya menelusuri tragedi terbunuhnya Husain Rahimahullah dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Syi’ah bukanlah Ahlul Bait, dan Ahlul Bait berlepas diri dari Syi’ah, diantara keduanya terdapat perbedaan yang sangat jauh, bagaikan timur dan barat, bahkan lebih jauh lagi.
2. Barangsiapa yang mengaku-ngaku mencintai dan mengikuti jejak Ahlul Bait namun ternyata mereka berlepas diri dari orang-orang yang dicintai Ahlul Bait tersebut, maka yang ada hanyalah klaim kedustaan dan propaganda kesesatan.
Read More