Kamis, 14 April 2016

Kairo, 6 Rajab 1437/14 April 2016  –  Siapa yang tidak kenal Musa? Hampir dipastikan para remaja Indonesia sudah mengenal Musa, seorang Hafidz cilik yang sangat luar biasa. Bagaimana bisa, saat itu, di usia 5,5 tahun saja dia sudah hafal al-Quran 29 juz hingga menjuarai Hafidz Indonesia pada tahun 2014. Tahun ini, 2016, Musa yang sudah hafal 30 Juz, juga pernah mengikuti lomba hafidz internasional beberapa waktu lalu di Jeddah, hari ini di usianya yang sudah menginjak 7 tahun tersebut ia menjadi juara tiga pada Musabaqah Hifzil Quran (MHQ) Internasional di Sharm El-Sheikh Mesir, pada 10-14 April 2016, Masya Allah, mumtaz, keren abis deh!!! 

Musa La Ode Abu Hanafi, berusia 7 tahun 10 bulan tersebut menjadi satu-satunya utusan Indonesia yang ditunjuk pemerintah melalui Kemenag, untuk memenuhi undangan Kementerian Wakaf Mesir untuk mengikuti MHQ Internasional. Ia mengikuti lomba didampingi oleh orang tuanya, La Ode Abu Hanafi. 

Jumlah peserta MHQ Internasional Sharm El-Sheikh untuk semua cabang mencapai 80 orang yang terdiri dari 60 negara antara lain Mesir, Sudan, Arab Saudi, Kuwait, Maroko, Chad, Aljazair, Mauritania, Yaman, Bahrain, Nigeria, Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, Thailand, Australia, Ukraina, dan Indonesia serta negara-negara lainnya.

Dalam hal ini, Musa merupakan utusan Indonesia satu-satunya yang berpartisipasi pada perlombaan tersebut, yaitu meraih juara ketiga dalam ajang lomba penghafal Al-Quran dunia itu, seperti dikutip dari keterangan pers KBRI Kairo.

Musa mengikuti lomba cabang Hifz Al-Quran 30 juz untuk golongan anak-anak, dan merupakan peserta paling kecil di antara seluruh peserta lomba, karena peserta lainnya berusia di atas sepuluh tahun.

Hal itu menjadi daya tarik tersendiri bagi peserta Indonesia yang mendorong jurnalis Kantor Berita MENA mewawancarai Musa dan orang tuanya pada hari pertama kedatangan mereka, sebelum bertanding. Pada keesokan harinya hasil wawancara tersebut sudah dimuat di sejumlah media Mesir dengan judul: Indonesia Berpartisipasi pada MTQ Internasional Sharm El-Sheikh dengan Peserta Paling Kecil.

Seperti peserta lomba cabang Hifzil Quran golongan anak-anak lainnya, Musa diminta untuk menuntaskan enam soal, yang berhasil dilalui Musa dengan tenang, tanpa ada salah maupun lupa. Hal itu berbeda dengan para peserta lomba lainnya yang rata-rata mengalami lupa, bahkan diingatkan dan dibetulkan oleh dewan juri.

Lancarnya bacaan dan ketenangan Musa dalam membawakan ayat-ayat Al-Quran yang ditanyakan membuat Ketua Dewan Juri Sheikh Helmy Gamal, Wakil Ketua Persatuan Quraa Mesir dan sejumlah hadirin meneteskan air mata.

Decak kagum terhadap penampilan Hafiz Cilik Indonesia tidak hanya ditunjukkan oleh dewan juri dan para hadirin. Para peserta yang menjadi saingan Musa pun menunjukkan decak kagum kepada utusan Indonesia tersebut.

Setelah tampil, Musa langsung diserbu oleh oleh para hadirin untuk berfoto dan mencium kepalanya sebagai bentuk takzim sesuai budaya masyarakat Arab. Tak mau ketinggalan, Dewan Juri dan panitia dari Kementerian Wakaf Mesir ikut pula meminta Musa untuk berfoto dengan mereka.

Hal itu tidak mereka lakukan terhadap peserta MTQ lainnya. Meskipun karena usianya yang masih kecil dan lidahnya yang masih cadel dan belum bisa mengucapkan hurup “R” Musa dinilai telah menjadi juara di hati dewan juri dan para hadirin, meskipun secara tertulis dia hanya memperoleh juara tiga.

Hal itu karena menurut Syeikh Helmy Gamal bacaan Al-Quran diatur dengan kaedah dan hukum yang jelas dan tidak bisa dikesampingkan antara lain terkait makharijul huruf.

Pada acara penutupan, Menteri Wakaf Mesir Prof. Dr. Mohamed Mochtar Gomaa memanggil Musa dan Abu Hanafi secara khusus. Pada kesempatan tersebut Menteri Gomaa atas nama Pemerintah Mesir mengundang Musa dan Hanafi pada peringatan Malam Lailatul Qadar yang diadakan pada Ramadan mendatang. Disebutkan bahwa Presiden Mesir akan memberikan penghargaan secara langsung kepada Musa.

Pemerintah Mesir akan menanggung biaya tiket dan akomodasi selama mereka berada di Mesir. Menteri Gomaa menyampaikan takjubnya kepada Musa yang berusia paling kecil dan tidak bisa berbahasa Arab, tapi menghapal Al-Quran dengan sempurna.

Lauti Nia Sutedja, Koordinator Fungsi Pensosbud KBRI Kairo menuturkan, “Delegasi cilik Indonesia, Musa, telah berhasil meningkatkan kecintaan bangsa lain terhadap Indonesia. Banyak peserta yang menyebutnya sebagai mukjizat. Alhamdulillah, staf kami telah berhasil merekam penampilan Musa secara utuh. Dalam waktu dekat akan kita turunkan pada laman resmi KBRI di situs jejaring Facebook dan Youtube agar dapat disaksikan oleh masyarakat di tanah air.”

Sementara Meri Binsar Simorangkir, KUAI KBRI Kairo menyatakan bangga bahwa Musa yang masih kecil telah berhasil mengharumkan nama Indonesia melalui Al-Quran. Menurutnya, KBRI Kairo dalam hal ini sangat mendukung upaya Musa dalam meraih prestasinya, karena ia membawa nama Indonesia.​ 

Begitulah, Indonesia ternyata memiliki generasi-generasi hebat yang menorehkan sejuta prestasi mulia di tingkat dunia. Bukan sekedar prestasi tapi dengan jalan maksiyat seperti mengumbar aurat dan melupakan Allah, tetapi prestasi taqwa, insya Allah mulia di sisi Allah Swt. Yups, tahukah kamu, Musa, ternyata merupakan anak yang berhasil dicetak melalui pendidikan tanpa sekolahan lho. Ia dididik oleh orang tuanya langsung melalui sekolah rumahan. Ayahnya pula yang telah menjadikan ia menjadi hafidz dengan berkah dari Allah Swt. 

Bagaimana dengan anak-anak Indonesia lainnya yang dididik di jalur sekolahan umum, saat sistem yang diterapkan sekuler? Sobat remaja semua bisa melihat hasilnya: yang jelas banyak berita kurang baik, banyak masalah, seperti remaja merokok, pacaran, doyan maen game atau PS, konser musik, hura-hura dan perilaku yang mengkhawatirkan lainnya. 

Untuk itulah, sudah semestinya, para remaja dan orang tua mendampingin anak-anak mereka untuk terbina kepribadiannya dengan Islam agar terlahir pribadi yang mulia seperti Musa. Insya Allah, dengan menyemarakkan pembinaan-pembinaan remaja serta kajian-kajian Islam di kalangan mereka akan melahirkan generasi-generasi hebat masa depan. Insya Allah. [kir-lds/vm/mina]


Read More

Yuk Wujudkan #IslamRahmatanLilAlamin

Kita meyakini bahwa turunnya Rasulullah Muhammad adalah Rahmat bagi semesta alam, kasih sayang bagi semua yang ada di alam semesta ini, tak terkecuali hewan dan tumbuhannya terutama manusianya

Setidaknya begitulah yang ditegaskan Allah di dalam Al-Qur'an. Bahwa ketika Rasulullah Muhammad datang dengan Al-Qur'an yang menjadi mukjizat agama Islam. maka penerapan Islam inilah yang akan menjadi rahmat bagi semesta alam

Bahasa akrabnya, #IslamRahmatanLilAlamin

Islam Rahmatan Lil 'Alamin hanya bisa terjadi dan terwujud, dirasakan oleh semua yang hidup apabila Islam diterapkan dalam bentuk totalnya, diberlakukan syariat sepenuhnya, barulah kasih sayang akan merata, hidup manusia pasti sejahtera

Namun yang kita lihat sekarang justru sebaliknya, adanya Muslim tidak berarti Islam juga mewujud, karena Islam adalah seperangkat syariat Allah. Bila syariat itu tidak diterapkan sepenuhnya, bagaimana Islam bisa terwujud sepenuhnya?

Perangkat Islam bukan hanya akhlak, tapi juga menyangkut ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan, keamanan, kesejahteraan sosial, moneter dan finansial, hukum dan sanksi, semuanya. Kaafah.

Bila sekarang, kita-kita yang Muslim belum menunjukkan apa yang Rasulullah tunjukkan, yaitu Rahmat bagi semesta alam, maka sudah sepantasnya kita meneladani Rasulullah, yaitu menerapkan syariah Allah sepenuhnya bagi individu, jama'ah, dan negara

InsyaAllah dengan itu akan mewujud betulan, #IslamRahmatanLilAlamin

Like dan share status akun "Islam Rahmatan Lil 'Alamin" atau @IslamRahmatanID di Instagram :D
Read More

Rabu, 13 April 2016

Oleh : Adi Victoria
Apa yang terbesit di kepala kita saat memasuki bulan Rajab? Ya benar! Isra Mi’raj Nabi besar Muhammad SAW. Karena setiap bulan Rajab, sebagian besar Umat Islam melakukan acara Isra Mi’raj dalam rangka menghayati dan mengambil hikmah terkait kegiatan Isra dan Mi’raj tersebut. Dalam Isra, Nabi Muhammad SAW “diberangkatkan” oleh Allah SWT dari Masjidil Haram hingga Masjidil Aqsa. Lalu dalam Mi’raj Nabi Muhammad SAW dinaikkan ke langit sampai ke Sidratul Muntaha yang merupakan tempat tertinggi. Di sini Beliau mendapat perintah langsung dari Allah SWT untuk menunaikan salat lima waktu.
Peristiwa ini terjadi di bulan Rajab, tepatnya pada malam 27 Rajab. Jadi, bulan Rajab memang diidentikkan dengan peristiwa Isra Mi’raj, yang memang salah satu peristiwa penting dalam perjalanan penyebaran agama Islam oleh Rasulullah saw.
Namun, di bulan Rajab juga, sesungguhnya masih terdapat 2 (dua) peristiwa penting yang kira belum banyak diketahui oleh umat Islam secara keseluruhan, padahal 2 peristiwa penting lainnya itu, juga merupakan hal yang banyak mempengaruhi kehidupan umat Islam berikutnya.
Peristiwa kedua adalah pembebasan Masjid Al Aqsa oleh Shalahudin al Ayyubi. Pada tanggal 27 Rajab 583 H, Shalahudin al Ayyubi bersama pasukannya umat Islam bergerak mengepung dan membebaskan tanah Palestina yang setelah sekian abad lamanya dikuasai oleh pasukan salibis. Pembebasan itu sendiri tidak mendapatkan perlawanan yang berarti dari pasukan salibis.
Peristiwa ketiga adalah terjadinya penghapusan sistem Khilafah. Setelah kurun waktu kurang lebih 13 abad lamanya Islam memimpin peradaban di lebih dari 2/3 dunia, yang menebarkan rahmat bagi seluruh ‘alam (dimana tercatat dalam sejarah selama 4 abad masa pemerintahan Khilafah Turki Utsmani, hanya ada 200 kasus kriminal yang diajukan di pengadilan, bandingkan dengan sekarang) Pada tanggal 28 Rajab 1342 H atau tepatnya pada 03 Maret 1924, seorang pengkhianat yang bernama Mustafa Kemal at-Tarturk, seorang yang berketurunan Yahudi dari suku Dunamah, seorang agen barat (Inggris), telah menghapuskan sistem pemerintahan Islam yakni istem Khilafah, yang kemudian diganti dengan system pemerintahan Republik, yang merupakan bagian dari sistem Kapitalis-Sekuler.
Dalam sistem ini, syariat Islam tidak pernah secara sengaja digunakan. Islam hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja. Sebagai gantinya, di tengah-tengah sistem sekularistik itu lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama: tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik, serta sistem pendidikan yang materialistik.
Pasca runtuhnya khilafah Turki Utsmaniy tersebut, wilayah Islam yang dulu terbentang sangat luas—mencakup seluruh jazirah Arab, Afrika bagian Utara, sebagian Eropa, Asia Tengah, Asia Timur, dan Asia Selatan—kini terpecah-pecah menjadi negara kecil-kecil.
Akibatnya, Umat Islam yang dulunya kuat karena bersatu dalam satu kepemimpinan yakni kepemimpinan Khilafah yang dipimpin oleh seorang khalifah, menjadi lemah karena tercerai berai, sehingga menjadi santapan empuk para imperialis kafir barat.
Lihatlah bagaimana sekarang umat Islam di berbagai belahan dunia ditindas oleh musuh-musuh Allah. Palestina misalnya sejak tahun 1948 (24 tahun pasca runtuhnya khilafah), tanahnya dirampas oleh Israel atas restu Amerika dan PBB, sehingga menyebabkan pengusiran dan pembunuhan terjadi pada umat Islam di Palestina, bahkan masjid al Aqsa pun yang dulunya merupakan kiblat pertama umat Islam, dihinakan oleh Israel.
Bukan hanya di Palestina, penderitaan juga dialami oleh umat Islam di berbagai belahan dunia lain seperti di Chechnya, Dagestan, Jammu Khasmir, Pattani Thailand, Moro Philipina, di Afrika Tengah. Penderitaan juga dialami oleh umat Islam di Afganistan dan Irak. Dengan dalih memerangi terorisme dan menghancurkan senjata pemusnah massal, AS dan sekutunya menggempur habis kedua negara itu dan tidak kurang dari 1 juta nyawa umat Islam di Irak dilenyapkan oleh Amerika.
Dan yang terbaru adalah bagaimana kita melihat umat Islam di Suriah, bagaimana sekarang kita dipertontonkan, ratusan ribu lebih umat Islam di Suriah sudah meregang nyawa, dengan dalil menyerang ISIS, pasukan koalisi beberapa negara yang di pimpin Amerika Serikat menyerang Suriah, siapa yang meninggal? lagi-lagi umat Islam.

95 Tahun Tanpa Khilafah

Bulan Rajab 1437 H, menandakan sudah lebih dari 95 tahun Umat Islam hidup tanpa seorang khalifah. Padahal ijma’ sahabat menyebutkan haram hukumnya Umat Islam hidup lebih dari tiga hari tiga malam tanpa seorang khalifah.
Sebagaimana pesan Umar saat sedang sekarat, beliau berkata sebagaimana yang disampaikan At-Thabari dalam Taariikh-nya bahwa umar berkata: “Jika aku mati, maka bermusyawarahlah kalian selama tiga hari, dan hendaknya Shuhaib yang mengimami shalat kaum muslimin.” (Ath-Thabari, TaariikhAth-Thabari, Syamilah)
Para sahabat tidak ada yang mengingkari atau menentang perintah tersebut. Sehingga dipahami bahwa tidak ada sahabat yang mengingkari perintah Umat tersebut berarti adalah Ijma’ di kalangan sahabat -Ijma’ sahabat merupakan salah satu dalil syara’-. Artinya secara ijma’ sahabat, bahwa pengangkatan khalifah boleh ditunda dengan sengaja selama 3 hari dan tidak boleh lebih dari batas jumlahj hari tersbeut, dimana jika di sela-sela 3 hari itu belum juga terangkat seorang khalifah maka kaum muslimin baik yang mengusahakannya maupun yang tidak belum ada yang berdosa.
Dengan adanya Khalifah, maka umat Islam bisa menunaikan kewajibannya untuk berbaiat, sebaliknya akibat ketiadaan Khilafah Islam, umat Islam tidak bisa untuk berbaiat. Padahal Rasulullah saw dalam hadits nya disebutkan :
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar ra, Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa yang berlepas tangan dari ketaatan (terhadap Khalifah) maka dia akan menjumpai Allah pada hari kiamat tanpa memiliki hujjah,dan barangsiapa yang mati sementara di atas pundaknya tidak ada bai’at maka dia mati sebagaimana kematian jahiliyah.” (HR. Muslim)
Ibn Hajar Al-Asqalani menjelaskan:
“Maksud dari “kematian jahiliyah” –yaitu dengan mim dibaca kasrah (Al-Miitah)– adalah kondisi kematian sebagaimana matinya orang jahiliyah dalam kesesatan dan tidak memiliki Imam yang ditaati, karena mereka tidak mengetahui hal itu. Yang dimaksudkan bukan mati dalam keadaan kafir, melainkan mati dalam keadaan bermaksiat.” (Ibn Hajar, Fathul Baarii, Syamilah)

Syariah Islam & Khilafah Islam mewujudkan Rahmat

Al-Imam al-‘Allamah as-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah dalam kitab Asy Syakhsiyah al Islamiyah jilid III (halaman 365), menjelaskan seluruh syariat Islam yang datang merupakan rahmat bagi hamba-Nya. Lebih lanjut beliau menjelaskan rahmat tersebut merupakan natiijah (hasil) dari penerapan syariah Islam. Karena itu, rahmatan lil alamin bukanlah illat yang menjadi perkara yang memunculkan hukum.
Para ulama mu’tabar pun menjelaskan ar-rahmat dalam ayat tersebut berkaitan dengan penerapan syariah Islam kâffah dalam kehidupan sebagai tuntutan akidah Islam yang diemban oleh Rasulullah saw.
Di antaranya adalah ulama Nusantara yang mendunia, Syaikh Nawawi al-Bantani(w. 1316 H). Ia menyatakan:
“Tidaklah Kami mengutus engkau, wahai sebaik-baiknya makhluk, dengan membawa ajaran-ajaran syariah-Nya, kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta, yakni agar menjadi rahmat Kami bagi alam semesta seluruhnya; bagi agama ini dan kehidupan dunia.”[Muhammad bin ‘Umar Nawawi, Marâh Labîd li Kasyf Ma’nâ al-Qur’ân al-Majîd, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet. I, 1417 H, (II/62)]
Fakta sejarah peradaban Islam juga menjadi bukti nyata kemampuan Islam untuk memberikan kerahmatan itu, yakni tatkala Syariah Islam diterapkan secara kaffah dibawah institusi Daulah Khilafah Islam.
Sejarahwan terkemuka, Will Durant, dalam The Story of Civilization (vol. XIII), mengakui hal itu: “Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan tersebar luas sehingga berbagai ilmu, sastera, filsafat dan seni mengalami kemajuan luar biasa; menjadikan Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad.”
Oleh karenanya keberadaan Khilafah akan menjamin perwujudan rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin). Sebab, Khilafah akan menerapkan syariah Islam secara kaffah, menyatukan umat Islam sedunia dan mendakwahkan Islam ke seluruh penjuru dunia. Sehingga perjuangan sebagian Umat Islam untuk menegakan kembali system Khilafah Islam, adalah dalam rangka untuk mewujudkan apa yang disebut dengan kerahmatan. Dimana kerahmatan tersebut merupakan hasil atau natiijah dari penerapan syariah Islam. Dan penerapan syariah Islam tidak mungkin bisa diterapkan secara kaffah, tanpa adanya Khilafah. Khalifahlah dengan system Khilafah nya akan menegakan seluruh hukum-hukum Islam. Serta mendakwahkan Islam ke seluruh penjuru alam, sehingga kemudian Islam benar-benar menjadi rahmat bagi seluruh alam. Wallahu A’lambishowab. #IslamrahmatanLilAlamin []
Sumber: http://hizbut-tahrir.or.id/2016/04/10/tiga-peristiwa-penting-di-bulan-rajab-dua-diantaranya-masih-banyak-umat-islam-yang-belum-tahu/
Read More

Selasa, 05 April 2016

Paham Kapitalisme dan Liberalisme Membidik Para Pelajar

Kota Majalengka hari ini terus digempur oleh paham kapitalisme liberalisme. Hal itu terungkap dalam Kajian Islam Remaja (KIR) LDSHTI yang tema, "Kapitalisme Liberalisme Membidik Generasi Putih Abu", Selasa, 05 April 2016 di Masjid Besar Al Huriyyah, Jatiwangi, Majalengka.
Para pelajar dari berbagai sekolah yang hadir dalam acara tersebut siap melawan berbagai paham yang merusak pemikiran dan perilaku para remaja seperti paham liberalisme dan sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan).
Diakui oleh para pelajar, gempuran kapitalisme yang sudah mulai menyasar para remaja ini terasa dalam bentuk 3F dan 3S. Serangan 3F dan 3S itu yaitu serangan melalui Food, Fun, Fashion, Song, Sport hingga Sex. Remaja terus dimanjakan dengan berbagai kesenangan yang melenakkan hingga maraknya budaya pacaran, mojok hingga pergaulan bebas.
Berbagai acara hiburan, konser musik, modern dance yang disponsori para kapitalis seperti rokok, seakan-akan terus mempromosikan budaya liberal selain juga mereka berupaya mempromosikan merokok di kalangan remaja.
Sedihnya bila acara acara tersebut masuk ke dunia kampus. "Apakah itu mendidik para pelajar dan mahasiwa? Mendidik apa? Mendidik untuk merokok, atau mendidik untuk modern dance dan playstation?"
Para pelajar mendesak upaya penyelamatan generasi dari berbagai paham liberalisme dan kapitalisme. Tidak ada solusi untuk menyelamatkan generasi muda muslim kita hari ini selain kembali kepada Islam dengan menggencarkan pembinaan ke Islaman di kalangan remaja. Ketika para remaja mempelajari Islam, maka mereka akan memahami mana yang halal atau yang tidak.
"Islam sebagai sebuah sistem hidup dari Sang Pencipta, Allah Swt., akan menyelamatkan remaja dan membentuk mereka menjadi generasi yang smart dan cemerlang, insya Allah dengan ‪#‎IslamRahmatanLilAlamin‬". [lds-mjl]
Read More

Kamis, 31 Maret 2016

April Mop, Balasan Barat Terhadap Muslim Andalusia

April Mop di Barat dikenal dengan The April’s Fool Day. Pada 1 April itu, orang boleh dan sah-sah saja menipu teman, orang tua, saudara, atau lainnya, dan sang target tidak boleh marah atau emosi ketika sadar bahwa dirinya telah menjadi sasaran April Mop. Biasanya sang target, jika sudah sadar kena April Mop, maka dirinya juga akan tertawa atau minimal mengumpat sebal, tentu saja bukan marah sungguhan, dengan mengatakan, "April Mop!".

Namun banyak umat Islam yang ikut-ikutan merayakan April Mop ini tidak mengetahui, bahwa April Mop, atau The April’s Fool Day, berawal dari satu episode sejarah Muslim Spanyol di tahun 1487 M, atau bertepatan dengan 892 H.

Saat itu terjadi pembantaian ribuan umat Islam di Granada Spanyol di depan pelabuhan. Dengan tipuan akan diberangkatkan ke keluar Andalusia dengan kapal-kapal yang disediakan oleh Ratu Isabella, Muslim Andalusia malah dikonsentrasikan dan dengan mudah dibantai habis dalam waktu sangat singkat oleh ratusan pasukan salib yang mengelilingi dari segala penjuru.

Dengan satu teriakan dari pemimpinnya, ribuan tentara salib segera membantai umat Islam Spanyol tanpa rasa belas kasihan. Mereka kebanyakan terdiri atas para perempuan dengan anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Jerit tangis dan takbir membahana. Seluruh Muslim Spanyol di pelabuhan itu habis dibunuh dengan kejam. Darah menggenang di mana-mana. Laut yang biru telah berubah menjadi merah kehitam-hitaman.

Bagi umat kristiani, April Mop merupakan hari kemenangan atas dibunuhnya ribuan umat Islam Spanyol oleh tentara salib lewat cara-cara penipuan. Sebab itulah, mereka merayakan April Mop dengan cara melegalkan penipuan dan kebohongan walau dibungkus dengan dalih sekadar hiburan atau keisengan belaka.

Itulah akhir dari kejayaan Islam di Andalusia. Sebuah peradaban Islam yang dimulai dari perjuangan Tariq Bin Ziyad pada tahun 711 M dan berakhir pada 1487 M. Selama tujuh abad lebih peradaban ini telah menyumbangkan kepada dunia, kemajuan dalam berbagai ilmu pengetahuan, kebudayaan serta aspek-aspek ke-islaman, Andalusia kala itu boleh dikatakan sebagai pusat kebudayaan Islam dan Ilmu Pengetahuan yang tiada tandingannya setelah Konstantinopel dan Bagdad.

Balasan Barat Terhadap Muslim Andalusia

Namun ada sebuah kisah yang sangat memilukan. Pada 2 Januari 1492, kardinal Devider memasang salib di atas Istana Hamra; istana kerajaan Nashiriyah di Spanyol. Tujuannya sebagai bentuk proklamasi atas berakhirnya pemerintahan Islam di Spanyol.

Kaum Muslimin dilarang menganut Islam, dan dipaksa untuk murtad. Begitu juga mereka tidak boleh menggunakan bahasa Arab, siapa yang menentang perintah itu akan dibakar hidup hidup setelah disiksa dengan berbagai cara. Gereja di masa pemerintahan monarki Raja Ferdianand dan Isabella membuat Dewan Mahkamah Luar Biasa atau yang dikenal dengan Lembaga Inkuisi sebuah lembaga peradilan yang bertugas untuk menghabisi siapa saja orang-orang di luar Katholik. Lembaga ini kemudian bermetamorfosa menjadi Opus Dei.

Empat abad setelah jatuhnya Islam di Spanyol, Napoleon Bonaparte pada 1808 mengeluarkan instruksi untuk menghapuskan Dewan Mahkamah Luar Biasa tersebut. Dan di sinilah kisah ini berawal. Ditulis oleh Syaikh Muhammad Al Ghazali dalam bukunya At Ta’asub Wat Tasamuh (hal 311-318).

Tentara Prancis menemukan tempat sidang Dewan Mahkamah Luar Biasa itu di sebuah ruang rahasia di dalam gereja. Di sana ada alat alat penyiksaan seperti alat pematah tulang dan alat pengoyak badan. Alat ini untuk membelah tubuh manusia. Ditemukan pula satu peti sebesar kepala manusia. Di situlah diletakkan kepala orang yang hendak disiksa. Satu lagi alat penyiksaan ialah satu kotak yang dipasang mata pisau yang tajam. Mereka campakkan orang orang muda ke dalam kotak ini, bila dihempaskan pintu maka terkoyaklah badan yang disiksa tersebut.

Di samping itu ada mata kail yang menusuk lidah dan tersentak keluar, dan ada pula yang disangkutkan ke payudara wanita, lalu ditarik dengan kuat sehingga payudara tersebut terkoyak dan putus karena tajamnya benda benda tersebut. Nasib wanita dalam siksaan ini sama saja dengan nasib laki laki, mereka ditelanjangi dan tak terhindar dari siksaan.

Inilah jawaban untuk kita, mengapa saat ini, kita tidak menemukan bekas-bekas peradaban Islam yang masih hidup di Spanyol. Seolah-olah tersapu bersih, sebersih-bersihnya. Inilah balasan Barat terhadap Muslim.

Sumber: http://kajianirenahandono.blogspot.co.id/2015/03/april-mop-balasan-barat-terhadap-muslim.html
Read More

Senin, 28 Maret 2016

Islam Itu Indah

Estetika, sebuah kata purba “aisthetikos” yang mewakili keindahan atau kemenarikkan terhadap sesuatu. Bila keindahan sebuah lukisan terletak pada goresan dan susunan warnanya, bila keindahan sebuah sastra terletak pada makna dan komposisi katanya, bila keindahan sebuah lagu terletak pada harmoni dan susunan nadanya, maka sungguh manusia akan bersilang pendapat dan mustahil mendapat kata sepakat atas karya lukis, sastra, dan musik, manakah yang paling indah. Ya, memang begitulah adanya. Perjalanan sejarah berbicara, sejak zaman filusuf Yunani kuno, juga para ilmuwan, serta para estetikus modern sekalipun, hingga detik ini tak pernah menemukan ukuran baku akan keindahan itu. Sebab keindahan sebuah karya manusia merupakan buah dari penerjemahan selera individual manusia.

Kalau keindahan bersumber dari selera maka akan menggiring kepada konsekuensi logis bahwa “segala klaim keindahan hanyalah bersifat relatif, termasuk Islam”. Lantas bagaimana dengan keindahan Islam? Dimana letak keindahan Islam? Akankah keindahannya hanya bersifat relatif?

Lebih dari semua itu, Islam adalah sebuah panduan hidup diantara ragam panduan hidup lainnya. Terlalu ceroboh dan tanda pendeknya akal bila menilai panduan hidup di dasarkan pada selera. Sebab diantara beragam panduan hidup, panduan yang terpilih itulah yang akan menentukan hidup-matimu dan kehidupan setelah matimu. Nasib jiwamu yang mengabadi telalu beresiko jika hanya kau serahkan pada ketertarikan selera.

Islam dicipta dari sisi Sang Pencipta, tidakkan sama antara karya cipta manusia dengan karya penciptanya manusia. Maka Islam itu indah bersebab kebenarannya, bukan selera manusia. Bukan arsiran, atau, lurus dan lengkungnya garis yang membuat Islam indah, akan tetapi “ih dinashiratal mustaqiim”, jalan lurus yang dijanjikan oleh Islam. Bukan rima atau majas yang membuat melayang, yang menjadikan Islam indah, akan tetapi kebenaran makna dari “Qalallah wa qalla rasul”, kebenaran dari apa-apa yang disampaikan oleh Allah dan Rasulullah. Bukan melodi dan hentakan ritmis yang membuat Islam indah, akan tetapi “Sabbaha lillahi maa fissamaawati wamaa fil ard”, kesatuan sinergi dengan semesta, antara langit dan bumi, antara manusia dengan Pencipta, yang dengannya akan mengantarkan jiwa-jiwa manusia pada keselarasan dunia dan akhirat, pada keharmonisan “dari mana, untuk apa, dan akan kemana”.

Ridwan Kholid A

Read More

Rabu, 23 Maret 2016

Oleh: Al-Faqîr ilâ Rabbihi Irfan Abu Naveed[1] Dipresentasikan dalam Kajian Tafsir Bulanan di KPP Cianjur
LGBT, akronim dari lesbian, gay, biseksual dan transgender (termasuk interseks dan queer[2] (LGBTIQ)), kembali hangat diperbincangkan di berbagai media, terutama pasca legalisasi pernikahan sejenis oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat 26 Juni 2015 lalu mencakup 50 negara bagian AS[3], hal ini membuka kembali sejarah kelam peradaban umat manusia pada titik nadir, dimana ketuk palu Mahkamah AS yang menandai legalnya pernikahan sejenis pun menjadi lonceng kematian bagi peradaban Barat yang diwakili Amerika Serikat. Legalisasi pernikahan sejenis ini pun dianggap sebagai langkah penting dalam hal pengakuan terhadap LGBT.
Namun jika ditelusuri lebih jauh, legalisasi pernikahan sejenis yang pada akhirnya mengakomodasi kaum gay mengumbar hawa nafsunya melakukan perbuatan homoseksual, jelas meniti sejarah kelam Kaum Luth. Yakni suatu kaum dimana Nabi Luth a.s. diutus kepada mereka yang menempati kota Sodom di area Timur Jordania, mereka saling menzhalimi di tengah-tengah masyarakat mereka, serta mengamalkan berbagai kemungkaran lainnya.[4] Namun di atas semua kerusakan itu mereka pun melakukan kemungkaran baru di muka bumi yang tak pernah dilakukan oleh seorang pun sebelumnya[5], yakni mendatangi kaum lelaki dari duburnya menuruti syahwatnya dan meninggalkan para istrinya, menyelisihi tabiat manusia.[6]

A. Al-Qur’an: Perbuatan Homoseksual Merupakan Perbuatan Keji, Melampaui Batas

Perbuatan kaum gay yang melakukan perbuatan homoseksual lelaki mendatangi lelaki lainnya melalui duburnya, dalam istilah syari’ah, tercakup dalam istilah liwâth. Pengertian liwâth, dijelaskan dalam kamus bahasa ahli fikih, Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H):
اللواط: عمِل عَمَل قوم لوط . وطء الذكر في دبره (homosexuality)
Al-Liwâth: adalah perbuatan siapa saja yang mengamalkan perbuatan kaum Luth. Yakni memasukkan dzakar ke dubur laki-laki lainnya (homoseksual).”[7]
Jika kita telusuri, perbuatan homoseksual lelaki mendatangi lelaki dari duburnya, pertama kali dilakukan oleh Kaum Luth, hal itu sebagaimana difirmankan Allah ’Azza wa Jalla dalam ayat-ayat-Nya berikut penilaian Allah Yang Maha Benar berupa celaan dan kecaman keras terhadapnya.
a. Perbuatan Keji (Al-Fâhisyah)
Yakni penyifatan atasnya sebagai perbuatan al-fâhisyah (keji) jahat dan melampaui batas:
{وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ}
Dan (ingatlah) ketika Luth berkata pepada kaumnya: “Sesungguhnya kamu benar-benar mengerjakan perbuatan yang amat keji yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun dari umat-umat sebelum kamu.” (QS. Al-’Ankabût [29]: 28)
Ada banyak pelajaran yang terkandung dalam ayat di atas:
Pertama, Kalimat (إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ) menunjukkan bahwa ayat ini menyifati perbuatan liwâth(homoseksual) sebagai perbuatan keji (al-fâhisyah). Imam Abu al-Qasim al-Zamakhsyari (w. 538 H) menjelaskan bahwa perbuatan al-fâhisyah bermakna perbuatan yang sangat tercela.[8] Imam Fakhruddin al-Razi (w. 606 H) menjelaskan yakni perbuatan buruk yang nyata keburukannya, jika perbuatan zina adalah perbuatan keji dengan kondisi bahwa perbuatan tersebut bisa berkonsekuensi lahirnya anak (masih menjamin keberlangsungan generasi-pen.) meski tidak berlangsung terus menerus (sementara), adapun perbuatan homoseksual jelas tidak mungkin berkonsekuensi lahirnya anak (artinya tidak menjamin keberlangsungan generasi-pen.) sehingga perbuatan homoseksual jelas lebih keji (daripada perbuatan zina yang juga keji-pen.).[9]
Celaan dalam ayat di atas pun diawali dengan dua penegasan (tawkîd) berupa kata inna dan lâm al-ibtidâ’[10] yang berfaidah menafikan adanya keraguan dan pengingkaran atas celaan terhadapnya, sebagaimana ditegaskan dalam bahasan ilmu balaghah.[11] Ini sekaligus membantah penyesatan kaum liberal yang menjustifikasi perbuatan homoseksual dengan beragam alasan ngawur dan tidak ilmiah.
Kedua, Kalimat (مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ) menunjukkan bahwa tidak pernah ada seseorang pun di alam semesta ini yang melakukan perbuatan homoseksual sebelum kaum Luth, ini merupakan penafsiran Ibnu ’Abbas r.a.[12], dan Amru bin Dinar[13]. Sebagaimana ditegaskan pula menurut penafsiran para ulama, di antaranya: Imam Abu al-Muzhaffar al-Sam’ani (489 H)[14], Al-Hafizh Ibnu Katsir (w. 774 H)[15], Imam al-Zamakhsyari (w. 538 H)[16], dan lainnya.
Kata  dalam kalimat (مَا سَبَقَكُمْ بِهَا) merupakan bentuk penafian, dan kata min dalam frase min ahad[in] merupakan bentuk tambahan atas penegasan penafian[17] adanya orang lain sebelum kaum Luth, dimana dalam ayat ini tidak diungkapkan kata min qawm[in] yakni suatu kaum, namun dalam ruang lingkup yang lebih kecil yakni tidak seorang pun. Artinya tidak ada seseorang pun sebelum kaum Luth yang melakukan perbuatan keji tersebut, dan mereka yang melakukan perbuatan homoseksual jelas meniti jalan kaum terlaknat ini.
Ketiga, Ayat ini mengandung kewajiban sanksi had atas perbuatan liwâth, sebagaimana ditegaskan oleh Fakhruddin al-Razi.[18]
Kalimat hampir senada disebutkan dalam QS. Al-A’râf [7]: 80
b. Perbuatan Melampaui Batas (Al-Isrâf)
Dalam ayat lainnya, kaum Luth pun divonis sebagai kaum yang melampaui batas:
إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ ۚ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ {٨١}
Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melampiaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada perempuan, bahkan kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.” (QS. Al-A’râf [7]: 81)
Kalimat (بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ) menunjukkan celaan atas perbuatan homoseksual, yakni perbuatan melampaui batas atau dengan kata lain perbuatan zhalim yang menyalahi fitrahnya. Hingga dikabarkan bahwa Nabi Luth a.s. pun memohon pertolongan kepada Allah dari kerusakan kaumnya ini, dalam ayat:(قَالَ رَبِّ انْصُرْنِي عَلَى الْقَوْمِ الْمُفْسِدِينَ), dan ini pula yang mesti kita lakukan. Allah pun berfirman dalam ayat lainnya: QS. Al-Anbiyâ’ [21]: 74.
Dan vonis sebagai kaum yang melampaui batas pun disebutkan dalam ayat:
أَتَأْتُونَ الذُّكْرَانَ مِنَ الْعَالَمِينَ {١٦٥} وَتَذَرُونَ مَا خَلَقَ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ ۚ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ عَادُونَ {١٦٦}
“Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kamu tinggalkan istri-istri yang dijadikan oleh Rabb-mu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Syu’arâ [26]: 165-166)
Yakni melampaui batas yang halal melakukan keharaman.
c. Perbuatan Tidak Berakal
Bahkan perbuatan tersebut disifati sebagai perbuatan orang yang tidak berakal, berdasarkan mafhûmdari ayat:
{قَالَ يَا قَوْمِ هَٰؤُلَاءِ بَنَاتِي هُنَّ أَطْهَرُ لَكُمْ ۖ فَاتَّقُوا اللَّهَ وَلَا تُخْزُونِ فِي ضَيْفِي ۖ أَلَيْسَ مِنْكُمْ رَجُلٌ رَشِيدٌ}
Luth berkata: “Hai kaumku, Inilah puteri-puteriku, mereka lebih suci bagimu, Maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini, tidak adakah di antaramu seorang yang berakal?” (QS. Hûd [11]: 78)
Kalimat (أَلَيْسَ مِنْكُمْ رَجُلٌ رَشِيدٌ) yang berbentuk istifhâm inkariy (kalimat tanya yang maksudnya pengingkaran keras) menunjukkan bahwa Nabi Luth a.s. mengkritik perbuatan kaumnya yang homoseksual sebagai perbuatan tidak berakal.
Maka kian terang benderang bahwa seluruh standarisasi penilaian yang Allah tunjukkan dalam ayat-ayat-Nya di atas, menunjukkan bahwa disorientasi seksual kaum homo bukanlah faktor genetik melainkan suatu penyimpangan dari syari’at, fitrah dan tabi’at manusia yang lurus, yang mesti diobati dengan solusi Islam sehingga kembali kepada fitrahnya.

B. Al-Qur’an: Azab-Azab Allah Bagi Kaum Luth

Mengenai kaum Luth yang terlaknat ini pun, Allah mengisahkannya di banyak tempat (dalam al-Qur’an) bahwa Dia telah menurunkan azab bagi mereka karena perbuatan keji tersebut:
a. Allah Butakan Pandangan Mata Mereka
Allah ’Azza wa Jalla berfirman:
{وَلَقَدْ رَاوَدُوهُ عَنْ ضَيْفِهِ فَطَمَسْنَا أَعْيُنَهُمْ فَذُوقُوا عَذَابِي وَنُذُرِ}
“Dan sesungguhnya mereka telah membujuknya (agar menyerahkan) tamunya (kepada mereka), lalu Kami butakan mata mereka, maka rasakanlah azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku.” (QS. Al-Qamar [54]: 37)
Dimana pada ayat ke-33, disebutkan bahwa mereka telah mendustakan ancaman-ancaman peringatan dari Nabi Luth a.s. (lihat QS. Al-Qamar [54]: 33).
b. Allah Kirimkan Suara yang Sangat Keras
Allah ’Azza wa Jalla berfirman:
{فَأَخَذَتْهُمُ الصَّيْحَةُ مُشْرِقِينَ}
“Maka mereka dibinasakan oleh suara keras yang mengguntur, ketika matahari akan terbit.” (QS. Al-Hijr [15]: 73)
c. Bumi yang Mereka Tempati Diangkat dan Dibalikkan
Allah ’Azza wa Jalla berfirman:
{فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ مَنْضُودٍ}
“Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi.” (QS. Hûd [11]: 82)\
Allah pun menyebut mereka dengan al-Muktafikah, terbalik kepala dan kakinya. Lalu dilempar kembali ke tanah. Allah berfirman:
{وَالْمُؤْتَفِكَةَ أَهْوَىٰ}
“Dan negeri-negeri kaum Luth yang telah dihancurkan Allah.” (QS. Al-Najm [53]: 53)
d. Dihujani dengan Batu dari Tanah yang Keras dan Terbakar Secara Bertubi-Tubi
Allah ’Azza wa Jalla berfirman:
{وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ مَنْضُودٍ}
“Dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi.” (QS. Hûd [11]: 82)
Allah kabarkan pula dalam QS. Al-Hijr [15]: 74 dan QS. Al-Qamar [54]: 34.

C. Penegasan Kecaman Al-Sunnah Terhadap Perbuatan Homoseksual

Itu semua merupakan celaan bagi Kaum Luth dan mereka yang meniti jalanya, maka kaum muslimin (para ulama) pun bersepakat bahwa perbuatan kaum ini yakni homoseksual lelaki mendatang lelaki (liwâth) merupakan dosa besar yang jelas-jelas diharamkan Allah, sebagaimana disebutkan Al-Hafizh al-Dzahabi (w. 748 H).[19] Hal itu tidak mengherankan karena dalil-dalil al-Qur’an dan al-Sunnah secara tegas (qath’iy) mengharamkannya. Imam Muhammad bin al-Husain al-Ajurri al-Baghdadi (w. 360 H) bahkan menulis satu kitab khusus berjudul Dzamm al-Liwâth (tercelanya perbuatan liwâth). Para ulama pun menukil dalil-dalil dari al-Sunnah, berupa hadits-hadits Rasulullah –shallallâhu ’alayh wa sallam- yang mengecam perbuatan liwâth:
«إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي عَمَلُ قَوْمِ لُوطٍ»
“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas umatku adalah perbuatan kaum Luth.” (HR. Ahmad & al-Tirmidzi)[20]
Kekhawatiran Nabi –shallallâhu ’alayh wa sallam- dalam hadits di atas, cukup menunjukkan bahwa perbuatan homo merupakan penyimpangan, bukan sesuatu yang sejalan dengan fitrah manusia sehingga diklaim karena faktor genetik. Dipertegas oleh dalil dalam hadits lainnya, dari Ibnu ’Abbas r.a., berkata: “Rasulullah –shallallâhu ’alayh wa sallam- bersabda:
«لا يَنْظُرُ اللهُ إِلَى رَجُلٍ أَتَى رَجُلًا أَوِ امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا»
Allah tidak akan memandangi seorang laki-laki yang mendatangi laki-laki lainnya atau mendatangi perempuan pada duburnya.” (HR. Ibnu Hibban, al-Tirmidzi dll)[21]
Imam al-Mulla’ ’Ali al-Qari’ (w. 1041 H) menjelaskan bahwa pandangan tersebut adalah pandangan rahmat dan pemeliharaan. Dan yang dimaksud mendatangi laki-laki yakni pada duburnya.[22] Imam al-Shan’ani (w. 1182 H) pun menegaskan bahwa dalam masalah ini tidak ada ruang ijtihad di dalamnya terlebih penyebutan ancaman dalam hadits ini tidak perlu diketahui dengan ijtihad[23], karena sesungguhnya masalah ini hukumnya jelas. Rasulullah –shallallâhu ’alayh wa sallam- bersabda:
«لَعَنَ اللهُ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ، لَعَنَ اللهُ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ، لَعَنَ اللهُ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ»
“Allah melaknat siapa saja yang mengamalkan perbuatan kaum Luth, Allah melaknat siapa saja yang mengamalkan perbuatan kaum Luth, Allah melaknat siapa saja yang mengamalkan perbuatan kaum Luth.”(HR. Ahmad, Ibnu Hibban dll)[24]
Dalam hadits di atas, kecaman Rasulullah –shallallâhu ’alayh wa sallam- diulang sebanyak tiga kali yang merupakan penekanan (tawkîd) atas kecaman tersebut, dan faidahnya menafikan keraguan atas kebenaran informasi adanya kecaman tersebut.[25] Dan kata la’ana mashdarnya adalah al-la’nu yakni al-ta’dzîb (siksaan)[26], Imam al-Azhari (w. 370 H) memaknai (لعنه الله) yakni Allah menjauhkannya.[27] Al-Hafizh Ibn al-Atsir (w. 606 H) menjelaskan:
وَأَصْلُ اللَّعْن: الطَّرْد والإبْعاد مِنَ اللهِ، وَمِنَ الخَلْق السَّبُّ والدُّعاء
“Asal kata al-la’nu: terhempas dan terjauhkan[28] dari Allah, dan dari makhluk-Nya berupa celaan dan do’a keburukan.”[29]
Dan makna yang lebih rinci, sebagaimana dijelaskan Imam al-Raghib al-Ashfahani bahwa orang yang terlaknat itu terhempas dan terjauhkan masuk ke dalam jalan kemurkaan, dan laknat dari Allah berupa siksa di akhirat, dan di dunia terputus dari rahmat dan taufik-Nya.[30] Adanya ancaman keras berupa kata laknat jelas mengandung pesan tercelanya perbuatan tersebut, ia termasuk tarhîb dari Allah atas pelakunya, dalam ilmu ushul fikih kata ini pun menjadi indikasi keharaman perbuatan tersebut. Bahkan indikasi bahwa ia termasuk dosa besar. Al-Qadhi ’Iyadh (w. 544 H) menjelaskan:
وقد استدلوا لما جاءت به اللعنة أنه من الكبائر
Dan sungguh para ulama telah berdalil bahwa hal-hal dimana kata laknat menyertainya maka ia termasuk dosa besar.”[31]
Hingga pelaku homoseksual baik subjek dan objeknya pun wajib dikenakan sanksi hukuman di dunia yang wajib ditegakkan dan menjadi kewenangan al-Imam (Khalifah), berdasarkan dalil:
«مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاِعَلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ»
“Siapa saja di antara kalian menemukan seseorang yang melakukan perbuatan kaum Luth, maka hukum mati lah (oleh Imam atau yang mewakilinya-pen.) subjek dan objeknya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud & al-Hakim)[32]
Nash-nash al-Qur’an dan al-Sunnah di atas jelas mengandung celaan yang menjadi qarînah (indikasi) keharamannya[33], maka tidak mengherankan jika para ulama pun merinci keharaman liwâth secara pasti dan mutlak, tidak ada ruang ijtihad di dalamnya. Lalu apakah masih samar hakikatnya? Allâh al-Musta’ân.
{وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَىٰ تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ} سورة الذاريات: ٥٥
[1] Staf Kulliyyat al-Syari’ah wa al-Dirasah al-Islamiyyah STIBA Ar-Raayah Sukabumi.
[2] Homoseksual
[3] Barrack Obama, Presiden Amerika Serikat, sebenarnya sudah lama mendukung eksistensi LGBT, hal itu ditandai dengan penentangannya terhadap sikap Pemerintah Uganda yang anti gay, lesbian.
[4] Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi, Al-Kabâ’ir, Al-Manshurah: Dâr al-Khulafâ’, Cet. I, 1416 H, hlm. 57.
[5] Lihat QS. Al-’Ankabût [29]: 28 dan QS. Al-A’râf [7]: 80.
[6] Dr. Samih ‘Athif al-Zayn, Majma’ al-Bayân al-Hadîts wa Qashash al-Anbiyâ’ fî al-Qur’ân al-Karîm, Kairo: Dâr al-Kitâb al-Mishri, Cet. VII, 1426 H/2005, hlm. 305.
[7] Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji, dkk, Mu’jam Lughat Fuqahâ’, Beirut: Dâr al-Nafâ’is, Cet. II, 1408 H, juz I, hlm. 394.
[8] Abu al-Qasim Mahmud bin ‘Amru al-Zamakhsyari, Al-Kasyâf ‘an Haqâ’iq Ghawâmidh al-Tanziil, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, cet. III, 1407 H, juz III, hlm. 451.
[9] Abu ‘Abdullah Muhammad bin ‘Umar al-Razi, Mafâtiih al-Ghayb, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, cet. III, 1420 H, juz XXV, hlm. 49.
[10] Ayyub bin Musa al-Husaini Abu al-Baqa’ al-Hanafi, Al-Kulliyyât Mu’jam fii Mushthalahât wa al-Furûq al-Lughawiyyah, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, hlm. 269; Abu Muhammad Badruddin Hasan bin Qasim al-Maradiy al-Malikiy, Al-Junnâ al-Dâniy fî Hurûf al-Ma’âniy, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1413 H, hlm. 124.
[11] Dalam ilmu balaghah disebut dengan istilah al-khabar al-inkâriy karena keberadaan penegasan lebih dari satu. Lihat: Tim Pakar, Al-Balâghah wa al-Naqd, Riyâdh: Jâmi’atul Imâm Muhammad bin Su’ud al-Islâmiyyah, Cet. II, 1425 H, hlm. 38-39; Muhammad ’Ali al-Sarraj, Al-Lubâb fî Qawâ’id al-Lughah al-’Arabiyyah wa Âlât al-Adab al-Nahw wa al-Sharf wa al-Balâghah wa al-‘Arûdh wa al-Lughah wa al-Mitsl, Damaskus: Dâr al-Fikr, cet. I, 1403 H/1983, hlm. 161.
[12] Abu al-Muzhaffar Manshur al-Sam’aniy, Tafsîr al-Qur’ân, Riyadh: Dâr al-Wathan, cet. I, 1418 H, juz II, hlm. 195-196.
[13] Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim al-Tsa’labi, Al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsîr al-Qur’ân, Beirut: Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arabi, Cet. I, 1422 H, juz IV, hlm. 258.
[14] Abu al-Muzhaffar Manshur al-Sam’aniy, Tafsîr al-Qur’ân, juz IV, hlm. 177.
[15] Abu al-Fida’ Isma’il bin Umar bin Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhiim, Dâr Thayyibah, cet. II, 1420 H, juz VI, hlm. 276.
[16] Abu al-Qasim al-Zamakhsyari, Al-Kasyâf ‘an Haqâ’iq Ghawâmidh al-Tanzîl, juz III, hlm. 451.
[17] Ibid, juz II, hlm. 125.
[18] Abu ‘Abdullah Muhammad bin ‘Umar al-Razi, Mafâtiih al-Ghayb, juz XXV, hlm. 49.
[19] Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi, Al-Kabâ’ir, hlm. 57.
[20] Hadits shahih, Ahmad (III/382), al-Tirmidzi (IV/1457), Ibnu Majah (II/2563), dishahihkan Al-Hakim (IV/397). Abu Isa mengatakan: “Hadits ini hasan gharib dari jalur ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Uqail bin Abi Thalib dari Jabir bin ‘Abdillah r.a.”
[21] HR. Ibnu Hibban menshahihkannya dalam Shahih-nya (X/267, hadits 4418) Syu’aib al-Arna’uth mengatakan: “Hadits sanadnya kuat memenuhi syarat Muslim”; Al-Tirmidzi dalam Sunan-nya (III/461, hadits 1165) ia mengatakan: “Hadits ini hasan gharib”; Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya (IV/251), Al-Bazzar dalam Musnad-nya (XI/380, hadits 5212); Al-Nasa’i dalam Al-Sunan al-Kubrâ’ (VIII/197, hadits 8952) Imam Ibn Daqiq al-‘Iid dalam Al-Ilmâm (II/660, hadits 1290) menyebutkan bahwa para perawinya tsiqah/shahih; Abu Ya’la dalam Musnad-nya (IV/266, hadits 2378) Husain Salim: “Hadits hasan”; Al-Baihaqi dalam Al-Sunan al-Shaghiir (III/54, hadits 2482).
[22] Abu al-Hasan al-Mala’ al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, Beirut: Dâr al-Fikr, Cet. I, 1422 H, juz VI, hlm. 2351.
[23] Muhammad bin Isma’il al-Amir al-Shan’ani, Subul al-Salâm, Maktabah Mushthafa al-Bâbi al-Halabi, Cet. IV, 1379 H/1960, juz III, hlm. 138.
[24] Hadits shahih, Ahmad dalam Musnad-nya (I/127), Ibnu Hibban dalam Shahîh-nya (53), al-Thabrani (11546), dishahihkan al-Hakim (IV/356), namun dihasankan oleh Syu’aib al-Arna’uth.
[25] Tim Pakar, Al-Balâghah wa al-Naqd, hlm. 39.
[26] Abu ‘Abdurrahman al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi al-Bashri, Kitâb Al-‘Ayn, Ed: Dr. Mahdi al-Makhzhumi, Dâr wa Maktabah al-Hilâl, juz II, hlm. 141.
[27] Muhammad bin Ahmad al-Azhari al-Haruri, Al-Zâhir fî Gharîb Alfâzh al-Syâfi’i, Ed: Dr. Muhammad Jabr, Kuwait: Wizârah al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah, Cet. I, 1399 H, juz I, hlm. 335.
[28] Lihat pula: Abu al-Qasim Mahmud bin ’Amru al-Zamakhsyari, Asâs al-Balâghah, Ed: Muhammad Basil, Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyyah, Cet. I, 1419 H, juz II, hlm. 171.
[29] Majduddin Abu al-Sa’adat al-Mubarak bin Muhammad (Ibn al-Atsir), Al-Nihâyah fî Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar, Ed: Thahir Ahmad al-Zawi, Beirut: al-Maktabah al-’Ilmiyyah, 1399 H, juz IV, hlm. 255.
[30] Abu al-Qâsim al-Husain bin Muhammad al-Râghib al-Ashfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, Maktabah Nazâr Mushthafâ al-Bâz, suku kata (لعن), jilid II, hlm. 581.
[31] ‘Iyadh bin Musa Abu al-Fadhl al-Sabati, Syarh Shahîh Muslim (Ikmâl al-Mu’lim bi Fawâ’id Muslim), Mesir: Dâr al-Wafâ’, cet. I, 1419 H, juz IV, hlm. 486.
[32] Hadits shahih, Ahmad (I/300), al-Tirmidzi (IV/1456), al-Hakim (IV/355), Abu Dawud (IV/4462), Ibnu Majah (II/2561), al-Daruquthni (III/124), al-Bayhaqi (VIII/232)
[33] ‘Atha bin Khalil Abu al-Rasytah, Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl, Beirut: Dâr al-Ummah, Cet. III, 1421 H, hlm. 20.
Sumber: irfanabunaveed.net
Read More