Pengantar
Telaah kitab kali ini mengupas karya al-‘Allamah ‘Atha’ Abu Rasytah yang berjudul Al-Azmât al-Iqtishâdiyyah, Wâqi‘uhâ wa Mu‘âlajatuhâ
(Krisis Ekonomi, Realitas dan Solusinya). Secara umum, buku ini
memberikan gambaran utuh mengenai realitas krisis ekonomi suatu negara
serta solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut. Krisis ekonomi di
sini mencakup persoalan penambahan volume, pengadaan, dan stabilitas
kekayaan suatu negara; juga meliputi cara pendistribusiannya di
tengah-tengah masyarakat.
Berbeda
dengan krisis lain, krisis ekonomi negara biasanya merupakan krisis
berat yang membutuhkan curahan tenaga lebih untuk menyelesaikannya.
Untuk itu, krisis ini harus dipecahkan dengan segera, dan tidak boleh
dibiarkan berlarut-larut hingga menyebabkan kehancuran suatu negera.
Realitas Krisis Ekonomi
Menurut
‘Atha’ Abu Rasytah, agar krisis ekonomi ini bisa diselesaikan dengan
mudah, kita harus memahami terlebih dulu cara pengaturan negara terhadap
urusan harta dan kemungkinan-kemungkinan krisis yang bisa muncul.
Setelah itu, barulah kita mencari solusi (pemecahan) atas
masalah-masalah tersebut. Semua itu baru dapat kita pahami, jika kita
berhasil mengkaji secara seksama dua faktor penting: (1) kesatuan alat
tukar (medium exchanger) atau mata uang; (2) kesetimbangan neraca pembayaran.
1. Uang (Medium Exchanger): Dari Sistem Emas Menuju Fiat Money.
Hingga
pecah Perang Dunia I, dunia masih menggunakan sistem mata uang berbasis
emas dan perak. Namun, negara-negara di dunia terpaksa menggunakan
sistem uang kertas tatkala pecah Perang Dunia I. Setelah Perang Dunia I
usai, pada tahun 1922 diadakan Konferensi di Genewa, yang menghasilkan
keputusan untuk kembali ke sistem emas. Hanya saja, sistem ini tidak
menjadikan seseorang mudah menukarkan mata uangnya dengan emas. Mereka
hanya boleh menukarkan mata uangnya pada batas-batas minimal yang telah
diatur oleh undang-undang. Oleh karena itu, seseorang yang ingin
menukarkan mata uangnya dengan emas yang tersimpan di Bank Sentral hanya
bisa menukarkan uangnya pada batas tertentu. Di Prancis, misalnya,
batas minimalnya adalah 12 kg emas yang nilainya setara dengan 215.000
frank. Nilai ini terlalu besar sehingga menyulitkan orang untuk
mendapatkan emas yang penggunaannya telah dibatasi dalam perdagangan
luar negeri. Ketentuan tersebut juga menyulitkan orang yang memiliki
sejumlah uang yang tidak mencapai batas minimal untuk menukarkannya
dengan emas.
Akan tetapi, penggunaan sistem emas ini tidak bertahan lama, terutama setelah terjadi krisis ekonomi dunia (malaise)
pada tahun 1926, yang menyebabkan banyak negara membutuhkan uang dalam
skala besar. Pada tahun 1931, Inggris meninggalkan sistem emas, diikuti
oleh Prancis pada tahun 1936, dan Amerika pada tahun 1933.
Pada
tahun 1944, diadakan pertemuan di Bretton Woods yang menyepakati untuk
kembali ke sistem emas. Namun, Sistem Bretton Woods ini berbeda dengan
sistem emas sebelumnya. Butir kesepakatan yang ditelorkan dalam
konferensi Bretton Woods adalah sebagai berikut:
1. Negara
anggota harus mengaitkan satuan mata uangnya dengan emas murni pada
neraca tertentu, namun tidak memberikan kebebasan kepada setiap individu
atau organisasi menukarkan mata uangnya dengan emas yang ada di Bank
Sentral. Hanya dolar saja yang bisa ditukarkan dengan emas jika
dinisbahkan pada ketersediaannya di luar negeri. Ketentuan semacam ini
didasarkan oleh dua sebab. Pertama: Amerika memiliki cadangan
emas terbesar di dunia, yakni sebesar 2/3 dari total ketersediaan emas
di seluruh dunia, nilainya setara dengan 25 milyar dollar. Kedua:
adanya ambisi Amerika untuk mendominasi politik dan ekonomi dunia.
Dengan sistem ini, negara-negara dunia tidak lagi mengaitkan mata
uangnya dengan emas murni, namun dengan uang kertas yang dikeluarkan
oleh Amerika yang bernama dolar. Dengan sistem ini, Amerika dengan bebas
bisa menukarkan mata uangnya dengan emas, namun sebaliknya, negara yang
menyimpan mata uang dolar AS di Bank Sentralnya justru tidak bebas
menukarkan dolarnya di Bank Sentral Amerika. Karena itu, sistem Bretton
Woods disebut dengan Sistem Pertukaran Emas. Disebut demikian karena
mata uang negara yang ada di dunia bisa ditukarkan dengan mata uang
pengganti dari emas, yakni dolar.
2. Negara anggota wajib menetapkan nilai tukar mata uangnya berdasarkan kebijakan negara yang disesuaikan dengan back up
emas dan dolar yang memungkinkan ditukarkan dengan emas. Konferensi ini
memberikan toleransi hingga 1% untuk nisbah nilai pertukarannya.
3. Konferansi
ini juga mencetuskan lahirnya dua lembaga moneter dunia, IMF dan World
Bank, yang dikemudian hari terbukti hanya menjadi alat Amerika untuk
memaksakan sejumlah kebijakan politik dan ekonominya. Bahkan kedua
lembaga ini juga terbukti tidak mampu mengatasi krisis, malah semakin
memperparah krisis negara berkembang.
Sistem
Bretton Woods ini terus bertahan hingga akhirnya Amerika mengumumkan
untuk tidak mengaitkan dolar dengan emas, pada tahun 1971. Setelah itu,
nilai mata uang tidak lagi dijamin oleh emas dan perak, tetapi dijamin
berdasarkan undang-undang negara. Akibatnya, sistem moneter dunia tidak
lagi stabil dan rentan meledakkan krisis ekonomi yang berlarut-larut.
2. Kesetimbangan Neraca Pembayaran.
Kesetimbangan
neraca pembayaran adalah perhitungan menyeluruh terhadap pembayaran
(transaksi internasional) antar negara untuk periode tertentu, tanpa
memperhatikan lagi tabiat transaksinya. Biasanya, neraca pembayaran
dibagi menjadi dua neraca: (1) neraca kredit; (2) neraca debet. Neraca
kredit meliputi penjualan barang dan jasa ke luar negeri; setiap
pendapatan investasi penduduk domestik yang berada di luar negeri dalam
ekonomi domestik, penerimaan uang dari luar negeri, hibah atau hadiah
dari luar negeri, dan penjualan saham dan obligasi ke luar negeri dan
lain-lain. Neraca debet meliputi pembelian barang dan jasa dari luar
negeri (impor), kembalinya pendapatan investasi milik penduduk negara
asing yang berada dalam ekonomi domestik, setiap pengeluaran uang ke
luar negeri, pemberian hadiah atau hibah ke luar negeri, dan pembelian
saham atau obligasi dari luar negeri.
Untuk
itu, neraca pembayaran menunjukkan pergerakan uang dari suatu negara ke
negara lain. Namun, ia tidak menunjukkan nilai keseluruhan yang menjadi
hak atau kewajiban suatu negara terhadap dunia internasional.
Neraca “ekspor berjalan” dan “impor berjalan” yang
berlangsung pada 1 tahun disebut dengan neraca perdagangan. Adapun
neraca ekspor dan impor berjalan maupun yang tidak berjalan dinamakan
dengan transaksi perdagangan dalam neraca pembayaran. Biasanya, neraca
perdagangan merupakan item terpenting yang bisa menggambarkan banyak
hal, bahkan, hampir 2/3 dari kondisi keseluruhan. Hanya saja, neraca
pembayaran tidak selalu berbanding terbalik dengan neraca perdagangan.
Pasalnya, neraca pembayaran mencakup unsur-unsur lain yang berbeda.
Misalnya, neraca pembayaran di Jerman pada tahun 1925 mengalami
kesetimbangan karena mendapatkan utang sebanyak 900 juta Mark.
Kesetimbangan itu tidak disebabkan oleh naiknya jumlah ekspor. Demikian
pula neraca pembayaran Amerika Serikat pada tahun 1929 mengalami
kelemahan, karena pemerintah AS melakukan investasi besar-besaran ke
luar negeri, bukan karena kelemahan pada neraca perdagangannya. Inilah
yang disebut dengan neraca pembayaran. Biasanya, krisis ekonomi suatu
negara diakibatkan oleh neraca pembayaran yang tidak setimbang.
Setelah
mengkaji uang dan neraca pembayaran, jelaslah bagi kita bahwa
kebanyakan krisis ekonomi di dunia ini disebabkan oleh krisis mata uang
dan neraca pembayaran. Namun, ada penyebab krisis lain yang tidak kalah
pentingnya, dan sama sekali tidak terkait dengan persoalan mata uang dan
neraca pembayaran, yakni persoalan distribusi harta di tengah-tengah
masyarakat. Bahkan faktor inilah (ketimpangan distribusi kekayaan) yang
“sejatinya” menimbulkan krisis ekonomi dunia.
Krisis Ekonomi Akibat Mata Uang
Ketika
sistem moneter dunia disangga oleh sistem emas, keadaan moneter dunia
stabil dan jarang ditimpa krisis. Sebaliknya, ketika sistem moneter
internasional diganti dengan sistem pertukaran emas (Bretton Woods),
lalu diteruskan dengan uang kertas biasa, dunia internasional sangat
rentan dengan krisis moneter. Bahkan jika suatu negara mengalami krisis
moneter, krisis itu cepat menjalar dan menyerang negara-negara lain (contagion effect).
Ketika
sistem pertukaran emas diterapkan, mata uang negara-negara di seluruh
dunia dikaitkan dengan dolar. Benar, saat itu Amerika masih memiliki
cadangan emas terbesar di dunia sehingga masih bisa mem-back up
dolar yang beredar di luar negeri. Namun, ketika terjadi krisis ekonomi
tahun 1961 dan 1965, tampaklah di sana bahwa cadangan emas di Amerika
tidak mampu lagi mem-back up dolar yang banyak beredar di luar
negeri. Akibatnya, pertukaran dolar dengan emas tidak lagi equivalen
dengan harga pertukaran emas resmi yang disepakati di Bretton Woods.
Akibatnya, muncul ketidakpercayaan publik terhadap dolar, dan dalam
sekejap dolar melemah dengan disertai krisis ekonomi yang sangat parah.
Semua ini menunjukkan bahwa sistem moneter pertukaran emas yang digagas
di Bretton Woods pun rentan menimbulkan krisis.
Begitu
pula sistem mata uang kertas biasa, sistem ini juga rentan terhadap
krisis. Pasalnya, nilai mata uang di suatu negara terkait dengan nilai
mata uang negara lain. Bahkan nilai mata uang suatu negara sangat
dipengaruhi oleh kondisi politik dan ekonomi negara lain. Akibatnya,
jika mata uang negara lain terkena krisis, krisis itu akan menjalar
dengan sangat cepat ke negara lain. Kita bisa menyaksikan dengan mata
telanjang. Ketika krisis moneter menyerang Thailand, maka dengan segera krisis ini menjalar hampir di seluruh negara Asia menjadi krisis multidimensional.
Semua ini menunjukkan bahwa krisis moneter yang memukul dunia, lebih disebabkan oleh sistem moneternya yang sangat lemah.
Krisis Akibat Neraca Pembayaran
Pada
dasarnya, krisis ekonomi suatu negara juga dipengaruhi oleh
ketidaksetimbangan neraca pembayarannya. Adapun kelemahan neraca
pembayaran suatu negara disebabkan oleh neraca pemasukan (kredit) tidak
bisa mem-back up secara setimbang pengeluaran-pengeluaran
negara (neraca debet). Adapun kelemahan neraca pemasukan disebabkan
banyak faktor, di antaranya adalah: perluasaan impor bahan baku
dan alat-alat produksi; peningkatan volume ekspor barang-barang
konsumtif karena kelemahan produksi dalam negeri; perluasan investasi ke
luar negeri; macetnya produksi karena terganggunya keamanan dalam
negeri akibat perang dan kerusuhan; tidak stabilnya kurs dolar, rusaknya
aparatur negara dalam mengelola negara dan sebagainya.
Ketimpangan
neraca pemasukan suatu negara, jika tidak terlalu gawat, masih mungkin
untuk diselesaikan jika negara itu secara mandiri mampu meng-cover-nya
dengan kebijakan ekonomi yang tepat. Namun, ketimpangan itu akan
berubah menjadi krisis jika negara tidak memiliki aliran dana yang cukup
untuk meng-cover ketimpangan itu untuk sementara waktu, hingga
negara itu mampu meningkatkan ekspornya dan meminimalisasi impornya;
serta mampu membuat kebijakan dan langkah ekonomi dan politik untuk
menyeimbangkan lagi neraca pembayarannya.
Ada
penyebab krisis ekonomi lain yang tidak berkaitan dengan masalah mata
uang maupun neraca pembayaran, yakni masalah distribusi barang dan jasa
di tengah-tengah masyarakat. Ketimpangan distribusi ini justru merupakan
faktor dominan dalam sistem ekonomi kapitalis. Bisa saja suatu negara
dikatakan surplus pada neraca pembayarannya, dan mata uangnya juga
stabil. Namun, jika barang, jasa, dan mata uang tersebut hanya dikuasai
sekelompok manusia saja, tentu akan terjadi persoalan ekonomi pada
sekelompok manusia lain, akibat ketidakmampuannya mengakses barang dan
jasa. Atas dasar itu, masalah distribusi barang dan jasa di
tengah-tengah masyarakat merupakan masalah mendasar dalam kehidupan
ekonomi masyarakat.
Solusi Atas Krisis Ekonomi
Satu-satunya
jalan untuk keluar dari krisis yang diakibatkan oleh sistem moneter
adalah dengan kembali ke sistem moneter berbasis emas. Pasalnya, sistem
ini telah terbukti mampu menstabilkan moneter dunia dalam kurun waktu
yang sangat lama. Lebih dari itu, sistem ini kebal dari inflasi. Oleh
karena itu, ketika dunia dilanda krisis ekonomi paling parah, tahun
1926, banyak orang menyerukan untuk kembali ke sistem emas. Sistem ini
bersifat universal dan fixed. Ketika Anda memiliki 100 gram
emas, maka ia dapat Anda tukarkan dengan mata uang apapun di dunia ini,
tanpa mengurangi sedikitpun nilainya. Ini menunjukkan bahwa sistem ini
bersifat universal dan tidak terpengaruh oleh sekat bangsa, negara,
maupun kekacauan politik.
Selain
itu, kewajiban untuk menggunakan emas dan perak sebagai standar moneter
telah digariskan oleh nash-nash syariah. Untuk itu, kembali ke standar
moneter berbasis emas merupakan kewajiban syariah bagi kaum Muslim.
Menurut Syakih ‘Atha’ Abu Rasytah, untuk kembali ke sistem ini harus disepakati syarat-syarat berikut ini. Pertama:
adanya kebebasan dalam ekspor dan impor emas. Dengan kata lain,
keluar-masuknya emas di seluruh dunia tidak boleh dibatasi dengan
batasan atau syarat tertentu. Ini ditujukan agar nilai tukarnya bisa
stabil dan terus terjaga. Kedua: adanya kebebasan untuk menukarkan mata uang apapun yang di-back-up dengan emas, dengan emas, kapan pun dan di mana pun, sesuai dengan nilai yang dikandungnya. Ketiga: adanya kebebasan dalam hal mencetak dan melebur mata uang emas.
Adapun
untuk mengatasi krisis ekonomi akibat neraca pembayaran, sesungguhnya
ini disebabkan oleh neraca pemasukan (kredit) tidak lagi mampu meng-cover
pengeluaran-pengeluaran suatu negara. Untuk itu diperlukan
langkah-langkah untuk menyeimbangkan neraca pembayaran tersebut. Hanya
saja, langkah yang selama ini diambil oleh negara-negara berkembang
adalah dengan mengandalkan pinjaman ribawi dari luar negeri, penarikan
pajak, penjualan aset negara (privatisasi), dan lain sebagainya.
Ironisnya, langkah-langkah tersebut di kemudian hari justru semakin
menambah beban berat bagi neraca pembayaran.
Sebenarnya,
masih banyak hal-hal penting lain yang bisa diambil dari buku ini.
Namun, karena keterbatasan tempat, hal-hal penting itu tidak bisa
disarikan dalam telaah kitab kali ini.
Sungguh,
buku ini merupakan sumbangsih berharga dari Amir Hizbut Tahrir untuk
menyelesaikan krisis ekonomi yang disebabkan oleh kerapuhan sistem
moneter dunia dan neraca pembayaran negara.
Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.