Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Bagaimanakah tuntunan Islam dalam menentukan awal Ramadhan? Simak pembahasannya dalam tulisan berikut.
Sebagai bulan yang penuh berkah, rahmat, dan ampunan, bulan Ramadhan selalu dinantikan kehadirannya oleh umat Islam. Namun sayangnya, momentum penting itu hampir selalu diwarnai perbedaan di antara umat Islam dalam mengawali dan mengakhirinya. Patut dicatat, problem tersebut itu tidak hanya terjadi di tingkat nasional, namun juga dunia Islam pada umumnya. Bagaimana kita menyikapi perbedaan tersebut?
Sabab Pelaksanaan Puasa: Ru’yah Hilal
Telah maklum bahwa puasa Ramadhan merupakan ibadah yang wajib ditunaikan setiap mukallaf. Allah Swt berfirman:
شَهْرُ
رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ
وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ
الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
(Beberapa
hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak
dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di
negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada
bulan itu (QS al-Baqarah [2]: 183-185).
Rasulullah saw bersabda:
بُنِيَ
الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ
الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
Islam
dibangun atas lima perkara: kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar
zakat, haji, dan berpuasa Ramadhan (HR al-Bukhari no. 7; Muslim no. 21; al-Nasa’i no. 4915; Ahmad no. 4567, dari Ibnu Umar ra ).
Berdasarkan
ayat dan Hadits ini, serta dalil-dalil lainnya, puasa Ramadhan
merupakan suatu ibadah yang wajib ditunaikan. Sebagai layaknya ibadah,
syara’ tidak hanya menjelaskan status hukumnya –bahwa puasa Ramadhan
adalah fardhu ‘ain–, tetapi juga secara gamblang dan rinci menjelaskan
tentang tata cara pelaksanaannya, baik berkenaan dengan al-sabab, al-syarth, al-mâni’, al-shihah wa al-buthlân, dan al-‘azhîmah wa al-rukhshah-nya.
Berkenaan dengan sabab (sebab dilaksanakannya suatu hukum) puasa Ramadhan, syara’ menjelaskan bahwa ru’yah al-hilâl merupakan sabab dimulai dan diakhirinya puasa Ramadhan. Apabila bulan tidak bisa diru’yah, maka puasa dilakukan setelah istikmâl bulan Sya’ban. Ketetapan ini didasarkan banyak dalil. Beberapa di antaranya adalah Hadits-hadits berikut:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
Berpuasalah
kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena
melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka
sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari (HR. Bukhari no. 1776 dari Abu Hurairah).
إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Apabila
kamu melihatnya (hila)l, maka berpuasalah; dan apabila kamu melihatnya,
maka berbukalah. Jika ada mendung menutupi kalian, maka hitunglah (HR al-Bukhari no. 1767 dari Abu Hurairah)
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمْ الشَّهْرُ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ
Berpuasalah
kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena
melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian terhalang mendung, maka
hitunglah tiga puluh bulan hari (HR Muslim no.1810, dari Abu Hurairah ra.)
لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Janganlah
kalian puasa hingga melihat hilal, jangan pula kalian berbuka hingga
melihatnya, jika kalian terhalangi awan, maka sempurnakanlah hitungannya
menjadi tiga puluh hari (HR. Bukhari no. 1773, Muslim no. 1795, al-Nasai no. 2093; dari Abdullah bin Umar ra.).
لاَ
تُقَدِّمُوا الشَّهْرَ بِصِيَامِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ أَنْ
يَكُونَ شَيْءٌ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ وَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ
ثُمَّ صُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ حَالَ دُونَهُ غَمَامَةٌ فَأَتِمُّوا
الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ ثُمَّ أَفْطِرُوا وَالشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ
Janganlah
kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari
kecuali seseorang di antara kalian yang biasa berpuasa padanya. Dan
janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya (hilal Syawal). Jika ia
(hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari
kemudian berbukalah (Iedul Fithri) dan satu bulan itu 29 hari (HR. Abu Dawud no. 1982, al-Nasa’i 1/302, al-Tirmidzi 1/133, al-Hakim 1/425, dari Ibnu Abbas dan di shahih kan sanadnya oleh al-Hakim dan disetujui oleh al-Dzahabi.)
إِنَّمَا الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
Sesungguhnya bulan itu ada dua puluh sembilah hari,
maka janganlah kalian berpuasa hingga melihatnya. Dan janganlah kalian
berbuka hingga melihatnya. Apabila mendung menutupi kalian, maka
perkirakanlah.” (HR. Muslim 1797, HR Ahmad no. 4258, al-Darimi no. 1743, al-Daruquthni no. 2192, dari Ibnu Umar ra).
Berdasarkan Hadits-hadits tersebut, para fuqaha berkesimpulan bahwa penetapan awal dan akhir Ramadhan didasarkan kepada ru’yah al-hilâl. Imam al-Nawawi menyatakan, “Tidak wajib berpuasa Ramadhan kecuali dengan melihat hilal.
Apabila mereka tertutup mendung, maka mereka wajib menyempurnakan
Sya’ban (menjadi tiga puluh hari), kemudian mereka berpuasa.
Ali al-Shabuni berkata, “Bulan
Ramadhan ditetapkan dengan ru’yah hilal, meskipun berasal dari seroang
yang adil atau dengan menyempurnakan hitungan Sya’ban menjadi tiga puluh
hari; dan tidak dianggap dengan hisab dan astronomi; berdasarkan sabda
Rasulullah saw. ‘Shumû li ru’yatihi wa afthirû li ru’yatihi…”.
Menurut pendapat Jumhur, kesaksian ru’yah hilal Ramadhan dapat diterima dari seorang saksi Muslim yang adil. Ketetapan itu didasarkan oleh beberapa Hadits Nabi saw. Dari Ibnu Umar ra:
تَرَاءَى
النَّاسُ الْهِلَالَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ
بِصِيَامِهِ
Orang-orang melihat hilal, kemudian saya
sampaikan Rasulullah saw, “Sesungguhnya saya melihatnya (hilal).
Kemudian beliau berpuasa dan memrintahkan orang-orang untuk berpuasa (HR Abu Dawud no. 1995; al-Darimi no, 1744; dan al-Daruquthni no. 2170).
Dalam
Hadits ini, Rasulullah saw berpuasa dan memerintahkan umat Islam untuk
berpuasa berdasarkan kesaksian Ibnu Umar ra. Itu artinya, kesaksian
seorang Muslim dalam ru’yah hilah dapat diterima.
Dari Ibnu Abbas bahwa:
جَاءَ
أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ
إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ قَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا
اللَّهُ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ
يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ أَنْ يَصُومُوا غَدًا
Telah datang seorang Arab Badui kepada Nabi Muhammad saw kemudian
berkata, “Sungguh saya telah melihat hilal¤. Rasulullah bertanya,
“Apakah anda bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah dan bersaksi
bahwa sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah?” Orang tersebut menjawab,
“Ya”. Lalu Rasulullah bersabda, “Wahai Bilal, umumkan kepada manusia
(khalayak) agar mereka berpuasa besok.” (HR Imam yang lima, disahihkan oleh Khuzaimah & Ibnu Hiban).
Dalam
Hadits tersebut dikisahkan, Rasulullah saw tidak langsung menerima
kesaksian seseorang tentang ru’yah. Beliau baru mau menerima kesaksian
ru’yah orang itu setelah diketahui bahwa dia adalah seorang Muslim.
Andaikan status Muslim tidak menjadi syarat diterimanya kesaksian ru’yah
Ramadhan, maka Rasulullah saw tidak perlu melontarkan pertanyaan yang
mempertanyakan keislamannya
Tidak Terikat dengan Mathla’
Persoalan berikutnya adalah mathla’ (tempat
lahirnya bulan). Sebagian ulama Syafi’iyyah berpendapat, jika satu
kawasan melihat bulan, maka daerah dengan radius 24 farsakh dari pusat
ru’yah bisa mengikuti hasil ru’yat daerah tersebut. Sedangkan daerah di
luar radius itu boleh melakukan ru’yah sendiri, dan tidak harus
mengikuti hasil ru’yat daerah lain.
Pendapat tersebut disandarkan kepada Hadits yang diriwayatkan dari Kuraib:
أَنَّ
أُمَّ الْفَضْلِ بَعَثَتْهُ إلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ فَقَالَ :
فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ
وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلَالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ
قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللَّهِ
بْنُ عَبَّاسٍ ، ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ فَقَالَ : مَتَى رَأَيْتُمْ
الْهِلَالَ ؟ فَقُلْتُ : رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ، فَقَالَ :
أَنْتَ رَأَيْتَهُ ؟ فَقُلْتُ : نَعَمْ ، وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا
وَصَامَ مُعَاوِيَةُ ، فَقَالَ : لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ
فَلَا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلَاثِينَ أَوْ نَرَاهُ ، فَقُلْتُ
: أَلَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ ؟ فَقَالَ : لَا ،
هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Bahwa
Ummul Fadl telah mengutusnya untuk menemui Muawiyyah di Syam. Kuraib
berkata, “Aku memasuki Syam lalu menyelesaikan urusan Ummul Fadhl.
Ternyata bulan Ramadhan tiba sedangkan aku masih berada di Syam. Aku
melihat hilal pada malam Jumat. Setelah itu aku memasuki kota Madinah
pada akhir bulan Ramadhan. Ibnu ‘Abbas lalu bertanya kepadaku dan
menyebut persoalan hilal’. Dia bertanya, ‘Kapan kalian melihat hilal?’
Aku menjawab, ‘Kami melihatnya pada malam Jum’at.’ Dia bertanya lagi,
‘Apakah kamu sendiri melihatnya?’ Aku jawab lagi, ‘Ya, dan orang-orang
juga melihatnya. Lalu mereka berpuasa, begitu pula Muawiyyah.’ Dia
berkata lagi, ‘Tapi kami (di Madinah) melihatnya pada malam Sabtu. Maka
kami terus berpuasa hingga kami menyempurnakan bilangan tiga puluh hari
atau hingga kami melihatnya.’ Aku lalu bertanya, ‘Tidak cukupkah kita
berpedoman pada ru’yat dan puasa Muawiyyah?’ Dia menjawab, ‘Tidak,
(sebab) demikianlah Rasulullah Saw telah memerintahkan kepada kami’. ( HR. Muslim no. 1819; Abu Dawud no. 1985; al-Tirmidzi 629; al-Nasa’i no. 2084; Ahmad no. 2653).
Hadits yang diriwayatkan Kuraib ini dijadikan sebagai dalil bagi absahnya perbedaan awal dan akhir Ramadhan karena perbedaan mathla’. Apabila dikaji lebih teliti, sesungguhnya pendapat ini mengandung sejumlah kelemahan. Di antaranya:
Pertama, dalam Hadits ini terdapat syubhat, apakah Hadits ini tergolong Hadits marfû’ atau mawqûf. Ditilik dari segi lafazhnya, perkataan Ibnu ‘Abbas, “Hakadzâ amaranâ Rasûlullâh saw” (demikianlah Rasulullah saw memerintahkan kepada kami), seolah-olah menunjukkan sebagai Hadits marfû’. Namun jika dikaitkan dengan munculnya perkataan itu, kesimpulan sebagai Hadits marfu’ perlu dipertanyakan.
Jika dicermati, perkataan “Lâ, hakadzâ amaranâ Rasûlullâh saw”
merupakan jawaban Ibnu Abbas atas pertanyaan Kuraib dalam merespon
suatu peristiwa yang terjadi pada masa beliau. Yakni terjadinya
perbedaan antara penduduk Madinah dan penduduk Syam dalam mengawali
puasa. Penduduk Syam melihat hilal pada malam Jumat, sementara penduduk
Madinah melihatnya pada malam Sabtu. Ketika kejadian itu ditanyakan
kepada Ibnu Abbas, mengapa penduduk Madinah tidak mengikuti ru’yah
penduduk Syam saja, kemudian keluarlah jawaban Ibnu Abbas tersebut.
Bertolak dari kisah tersebut, maka ke-marfu-an Hadits ini perlu dipertanyakan: “Apakah
peristiwa serupa memang pernah terjadi pada masa Rasulullah saw dan
demikianlah keputusan beliau saw dalam menyikapi perbedaan itu?”
“Ataukah itu merupakan kesimpulan Ibnu Abbas atas sabda Rasulullah saw
mengenai penentuan awal dan akhir Ramadhan, sehingga perkataan Ibnu
Abbas itu adalah penerapan hasil ijtihad beliau terhadap kasus ini?”
Di sinilah letak syubhat Hadits ini, apakah tergoloh marfû’ atau mawqûf.
Agar lebih jelas, kita bisa membandingkan Hadits ini dengan Hadits lain
yang tidak mengandung syubhat, yang sama-sama menggunakan ungkapan “amaranâ Rasûlullâh saw”. Hadits dari Ibnu Umar yang berkata:
أَمَرَنَا
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ
أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ
Rasulullah saw memerintahkan kami dalam zakat fithri agar ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang untuk shalat (HR Abu Dawud).
Hadits ini tidak diragukan sebagai Hadits marfû’.
Sebab, Hadits ini berisi sebuah ketentuan hukum atas suatu perbuatan.
Berbeda halnya dengan Hadits Ibnu Abbas di atas, yang berisi jawaban
beliau mengenai suatu kasus yang terjadi masa beliau. Tampak bahwa
perkataan Ibnu Abbas tersebut merupakan ijtihad beliau dalam menyikapi
kejadian yang terjadi pada saat itu. Kesimpulan demikian juga
disampaikan oleh sebagian ulama, seperti al-Syaukani yang menggolongkan
Hadist ini sebagai ijtihad Ibnu Abbas.
Sebagai
sebuah ijtihad, kaum Muslim diperbolehkan untuk taklid kepada ijtihad
Ibnu Abbas. Namun jika untuk dijadikan sebagai dalil syara’, yang
darinya digali hukum-hukum syara’, jelas tidak diperbolehkan. Sebab,
sahabat bukanlah orang yang ma’shum. Ijtihadnya tidak termasuk dalam
dalil syara’.
Kedua, jika dalam Hadits ini kaum Muslim diizinkan untuk mengikuti ru’yah di masing-masing daerahnya, pertanyaan yang muncul adalah: “Berapa jarak minimal antara satu daerah dengan daerah lainnya yang mereka diperbolehkan berbeda?” “Jika
dalam Hadits ini jarak antara Madinah dengan Syam diperbolehkan bagi
penduduknya untuk berbeda mengawali dan mengakhiri puasa, bagaimana jika
jaraknya lebih dekat?” Hadits ini juga tidak memberikan
jawabannya. Oleh karena itu, para ulama yang mengamalkan Hadits Kuraib
ini pun berbeda pendapat mengenai jarak minimalnya.
Ada yang menyatakan, jarak yang diperbolehkan berbeda puasa itu adalah perbedaan mathla’. Ini ditegaskan oleh ulama Iraq dan dibenarkan oleh al-Nawawi dalam al-Rawdhah dan Syarh al-Muhadzdzab.
Ada pula yang menggunakan ukuran jarak mengqashar shalat. Hal ini
ditegaskan Imam al-Baghawi dan dibenarkan oleh al-Rafi’i dalam al-Shaghîr dan al-Nawawi dalam Syarh al-Muslim.
Lainnya mendasarkan pada perbedaan iklim. Dan sebagainya. Patut
dicatat, semua batasan jarak itu tidak ada yang didasarkan pada nash
yang sharih.
Bertolak
dari dua alasan itu, maka Hadits Kuraib tidak bisa dijadikan sebagai
dalil bagi absahnya perbedaan penetapan awal dan akhir puasa berdasarkan
perbedaan mathla’. Dalam penetapan awal dan akhir puasa akan lebih
tepat jika menggunakan dalil-dalil Hadits yang jelas marfu’ kepada Nabi
saw. Imam al-Amidi mengatakan, “Hadits yang telah disepakati
ke-marfu’-annya lebih dikuatkan daripada hadits yang masih
diperselisihkan ke-marfu’-annya. Hadits yang dituturkan dengan lafadz
asli dari Rasulullah Saw lebih dikuatkan daripada hadits yang
diriwayatkan bil makna.”
Berkait dengan Hadits dari Ibnu Abbas, terdapat Hadits yang diriwayatkan oleh beliau sendiri yang tidak diragukan ke-marfu’-annya, seperti Hadits:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَصُومُوا قَبْلَ
رَمَضَانَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ حَالَتْ
دُونَهُ غَيَايَةٌ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ يَوْمًا
Dari
Ibnu ‘Abbas ra yang berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Janganlah
kalian berpuasa sebelum Ramadhan. Berpuasalah karena melihatnya dan
berkulah karena melihatnya. Jika ia (hilal) terhalang awan, maka
sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari.” (HR al-Tirmidzi no. 624; Ibnu Hibban no. 2301)
Juga
Hadits-hadits lainnya yang tidak diragukan ke-marfu’-annya. Dalam
Hadits-Hadits itu kaum Muslim diperintahkan untuk berpuasa dan berbuka
karena adanya ru’yah hilal. Semua perintah dalam Hadits tersebut
berbentuk umum. Hal itu terlihat seruan Hadits-Hadits itu yang
menggunakan kata shûmû dan afthirû (dhamîr jamâ’ah, berupa wâwu al-jamâ’ah).
Pihak yang diseru oleh Hadits tersebut adalah seluruh kaum Muslim.
Karena berbentuk umum, maka seruan hadits ini berlaku umum untuk seluruh
kaum Muslim, tanpa ada perbedaan antara orang Syam dengan orang Hijaz,
antara orang Indonesia dengan orang Irak, orang Mesir dengan Pakistan.
Demikian juga, kata li ru’yatihi (karena melihatnya). Kata ru’yah adalah ism al-jins. Ketika ism al-jins itu di-mudhaf-kan, termasuk kepada dhamîr (kata ganti), maka kata itu termasuk dalam shighah umum, yang memberikan makna ru’yah
siapa saja. Itu berarti, apabila sudah ada yang melihat hilal, siapa
pun dia asalkan Muslim yang adil, maka kesaksian itu mewajibkan kepada
yang lain untuk berpuasa dan berbuka. Terlihatnya hilal Ramadhan atau
hilal Syawal oleh seorang Muslim di mana pun ia berada, maka ru’yah itu
mewajibkan kepada seluruh kaum Muslim untuk berpuasa dan berbuka, tanpa
terkecuali. Tidak peduli apakah ia tinggal di negeri yang dekat atau
negeri yang jauh dari tempat terjadinya ru’yah.
Imam al-Syaukani menyatakan, “Sabda
beliau ini tidaklah dikhususkan untuk penduduk satu daerah tertentu
tanpa menyertakan daerah yang lain. Bahkan sabda beliau ini merupakan khitâb
(seruan) yang ditujukan kepada siapa saja di antara kaum Muslim yang
khitab itu telah sampai kepadanya. ‘Apabila penduduk suatu negeri telah
melihat hilal, maka (dianggap) seluruh kaum Muslim telah melihatnya.
Ru’yah penduduk negeri itu berlaku pula bagi kaum Muslim lainnya’.”
Imam al-Syaukani menyimpulkan, “Pendapat
yang layak dijadikan pegangan adalah, apabila penduduk suatu negeri
telah melihat bulan sabit (ru’yatul hilal), maka ru’yat ini berlaku pula
untuk seluruh negeri-negeri yang lain.”
Imam al-Shan’ani berkata, “Makna
dari ucapan ‘karena melihatnya’ adalah “apabila ru’yah didapati di
antara kalian”. Hal ini menunjukkan bahwa ru’yah pada suatu negeri
adalah ru’yah bagi semua penduduk negeri dan hukumnya wajib.”
Pemahaman
tersebut juga dikuatkan oleh beberapa Hadits yang menunjukkan tidak
berlakunya perbedaan mathla’. Diriwayatkan dari sekelompok sahabat
Anshor:
غُمَّ
عَلَيْنَا هِلَالُ شَوَّالٍ فَأَصْبَحْنَا صِيَامًا فَجَاءَ رَكْبٌ مِنْ
آخِرِ النَّهَارِ فَشَهِدُوا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمْ رَأَوْا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ فَأَمَرَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُفْطِرُوا مِنْ
يَوْمِهِمْ وَأَنْ يَخْرُجُوا لِعِيدِهِمْ مِنْ الْغَدِ
Hilal
bulan Syawal tertutup oleh mendung bagi kami sehingga kami tetap
berpuasa pada keesokan harinya. Menjelang sore hari datanglah beberapa
musafir dari Mekkah ke Madinah. Mereka memberikan kesaksian di hadapan
Nabi saw bahwa mereka telah melihat hilal kemarin (sore). Maka
Rasulullah saw memerintahkan mereka (kaum Muslim) untuk segera berbuka
dan melaksanakan sholat ‘Ied pada keesokan harinya (HR. Ahmad dishahihkan oleh Ibnu Mundir dan Ibnu Hazm).
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw memerintahkan kaum Muslim untuk membatalkan puasa setelah mendengar informasi ru’yah hilal
bulan Syawal dari beberapa orang yang berada di luar Madinah
al-Munawarah. Peristiwa itu terjadi ketika ada serombongan orang dari
luar Madinah yang memberitakan bahwa mereka telah melihat hilal Syawal
di suatu tempat di luar Madinah al-Munawarah sehari sebelum mereka
sampai di Madinah. Dari Ibnu ‘Abbas:
جَاءَ
أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ
إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ قَالَ الْحَسَنُ فِي حَدِيثِهِ يَعْنِي
رَمَضَانَ فَقَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ نَعَمْ
قَالَ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ
يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ فَلْيَصُومُوا غَدًا
“Datang
seorang Badui ke Rasulullah SAW seraya berkata: Sesungguhnya aku telah
melihat hilal. (Hasan, perawi hadits menjelaskan bahwa hilal yang
dimaksud orang Badui itu adalah hilal Ramadhan).
Rasulullah SAW bersabda, “Apakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan selain
Allah?” Dia berkata, “Benar.” Beliau meneruskan pertanyaannya seraya
berkata, “Apakah kau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?” Dia
berkata, “Ya benar.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Wahai Bilal umumkan
kepada orang-orang untuk berpuasa besok.” (HR Abu Daud and al-Tirmidzi, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).
Dalam
Hadits tersebut, Rasulullah saw tidak menanyakan asal si saksi, apakah
dia melihatnya di daerah mathla’ yang sama dengan beliau atau berjauhan.
Akan tetapi beliau langsung memerintahkan kaum Muslim untuk berpuasa
ketika orang yang melakukan ru’yah itu adalah seorang Muslim.
Bertolak
dari beberapa argumentasi tersebut, maka pendapat yang rajih adalah
pendapat yang tidak mengakui absahnya perbedaan mathla’. Pendapat ini
pula yang dipilih oleh jumhur ulama, yakni dari kalangan Hanafiyyah,
Malikiyyah, dan Hanabilah. Mereka tidak menganggap adanya perbedaan
penentuan awal dan akhir puasa karena perbedaam mathla’.
Ketiga madzhab (Abu Hanifah, Maliki, Ahmad) itu berpendapat bahwa awal
Ramadhan ditetapkan berdasarkan ru’yah, tanpa mempertimbangkan perbedaan
mathla’.
Sayyid Sabiq menyatakan, “Menurut jumhur, tidak dianggap adanya perbedaan mathla’ (ikhtilâf al-mathâli’).
Oleh karena itu kapan saja penduduk suatu negeri melihat hilal, maka
wajib atas seluruh negeri berpuasa karena sabda Rasulullah saw,
”Puasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya.”
Seruan ini bersifat umum mencakup seluruh ummat. Jadi siapa saja di
antara mereka yang melihat hilal; di tempat mana pun, maka ru’yah itu berlaku bagi mereka semuanya.”
Abdurahman al-Jaziri menuturkan, “Apabila
ru’yah hilal telah terbukti di salah satu negeri, maka negeri-negeri
yang lain juga wajib berpuasa. Dari segi pembuktiannya tidak ada
perbedaan lagi antara negeri yang dekat dengan yang jauh apabila
(berita) ru’yah hilal itu memang telah sampai kepada mereka dengan cara
(terpercaya) yang mewajibkan puasa. Tidak diperhatikan lagi di sini
adanya perbedaan mathla’ hilal secara mutlak. Demikianlah pendapat tiga
imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Ahmad). Para pengikut madzhab Syafi’i
berpendapat lain. Mereka mengatakan, ‘Apabila ru’yah hilal di suatu
daerah telah terbukti, maka atas dasar pembuktian ini, penduduk yang
terdekat di sekitar daerah tersebut wajib berpuasa. Ukuran kedekatan di
antara dua daerah dihitung menurut kesamaan mathla’, yaitu jarak
keduanya kurang dari 24 farsakh. Adapun penduduk daerah yang jauh, maka
mereka tidak wajib berpuasa dengan ru’yah ini, kerana terdapat perbedaan
mathla’.”[12].
Al-Qurthubi menyatakan, “Menurut
madzhab Malik rahimahullah –diriwayatkan oleh Ibnu Wahab dan Ibnu
al-Qasim– apabila penduduk kota Basrah (Irak) melihat hilal Ramadhan,
lalu berita itu sampai ke Kufah, Madinah, dan Yaman, maka wajib atas
kaum Muslimin, berpuasa berdasarkan ru’yah tersebut. Atau melakukan
qadha puasa jika berita itu datangnya terlambat.”
Tentang pendapat madzhab Hanafi, Imam Hashfaky menyatakan, “Bahwasanya
perbedaan mathla’ tidak dapat dijadikan pegangan. Begitu juga melihat
bulan sabit di siang hari, sebelum dhuhur, atau menjelang dhuhur. Dalam
soal ini, penduduk di wilayah Timur (benua Asia) harus mengikuti (ru’yat
kaum Muslimin) yang ada di Barat (Timur Tengah), jika ru’yat mereka
dapat diterima (syah) menurut Syara’ “.
Tak
jauh berbeda, menurut Madzhab Hanbali, apabila ru’yat telah terbukti,
di suatu tempat yang jauh atau dekat, maka seluruh kaum Muslimin harus
ikut melakukan puasa Ramadhan.
Sebagian pengikut Madzhab Maliki, seperti Ibnu al Majisyun, menambahkan syarat, ru’yat itu harus diterima oleh seorang khalifah. “Tidak
wajib atas penduduk suatu negeri mengikuti rakyat negeri lain, kecuali
hal itu telah terbukti diterima oleh al-imâm al-a’dham (khalifah).
Setelah itu, seluruh kaum Muslimin wajib berpuasa. Sebab, seluruh negeri
bagaikan satu negeri. Dan keputusan khalifah berlaku bagi seluruh kaum
Muslim”
Ibnu Taimiyah dalam Majmû’ al-Fatawa berkata, “Orang-orang
yang menyatakan bahwa ru’yah tidak digunakan bagi semuanya
(negeri-negeri yang lain) seperti kebanyakan pengikut-pengikut madzhab
Syafi’i; dan di antara mereka ada yang membatasi dengan jarak qashar
shalat, ada yang membatasi dengan perbedaan mathla’ seperti Hijaz dengan
Syam, Iraq dengan Khurasan”, sesungguhnya kedua-duanya lemah (dha’if) karena jarak qashar shalat tidak berkaitan dengan hilal…Apabila
seseorang menyaksikan pada malam ke 30 bulan Sya’ban di suatu tempat,
dekat maupun jauh, maka ia wajib berpuasa. Demikian juga kalau ia
menyaksikan hilal pada waktu siang menjelang maghrib maka ia harus imsak
(berpuasa) untuk waktu yang tersisa, sama saja baik satu iklim atau
banyak iklim.”
Jelaslah,
menurut pendapat yang rajih dan dipilih jumhur, jika penduduk
negeri-negeri Timur (benua Asia) jauh melihat bulan sabit Ramadhan, maka
ru’yah wajib diikuti oleh kaum Muslimin yang berada di negeri-negeri
belahan Barat (Timur Tengah), tanpa kecuali. Siapapun
dari kalangan kaum muslimin yang berhasil melakukan ru’yatuh hilal maka
ru’yah tersebut merupakan hujjah bagi orang yang tidak melihatnya.
Kesaksian seorang muslim di suatu negeri tidak lebih utama dari
kesaksian seorang muslim di negeri yang lain.
Akibat Nasionalisme dan Garis Batas Nation State
Patut
digarisbawahi, perbedaan awal dan akhir puasa yang terjadi di
negeri-negeri Islam sekarang ini bukan disebabkan oleh perbedaan mathla’
sebagaimana dibahas oleh para ulama dahulu. Pasalnya, pembahasan ikhtilâf al-mathâli’ (perbedaan
mathla’) oleh fuqaha’ dahulu berkaitan dengan tempat terbit bulan.
Sehingga yang diperhatikan adalah jarak satu daerah dengan daerah
lainnya. Apabila suatu daerah itu berada pada jarak tertentu dengan
daerah lainnya, maka penduduk dua daerah itu tidak harus berpuasa dan
berbuka puasa. Sama sekali tidak dikaitkan dengan batas begara.
Berbeda
halnya dengan saat ini. Perbedaan mengawali dan mengakhiri Ramadhan
diakibatkan oleh pembagian dan batas-batas wilayah negeri-negeri Islam.
Di setiap negeri Islam terdapat institusi pemerintah yang memiliki
otoritas untuk menentukan itsbât (penetapan) awal dan akhir Ramadhan. Biasanya, sidang itsbât tersebut
hanya mendengarkan kesaksian ru’yah hilal orang-orang yang berada dalam
wilayah negeri tersebut. Apabila di negeri itu tidak ada seorang pun
yang memberikan kesaksiannya tentang ru’yah hilal, maka langsung
digenapkan, tanpa menunggu terlebih dahulu apakah di negeri-negeri
lainnya –bahkan yang berada di sebelahnya sekalipun– terdapat kesaksian
dari warganya yang telah melihat hilal atau belum. Hasil keputusan
tersebut lalu diumumkan di seluruh negeri masing-masing. Akibatnya,
terjadilah perbedaan dalam mengawali dan mengakhiri puasa Ramadhan
antara negeri-negeri muslim.
Kaum
Muslim di Riau tidak berpuasa bersama dengan kaum Muslim di Kuala
Lumpur. Padahal perbedaan waktu antara kedua kota itu tidak sampai satu
jam. Padahal, pada saat yang sama kaum Muslim di Acah bisa berpuasa
bersama dengan kaum Muslim di Papua. Tentu saja ini sesuatu yang amat
janggal. Penentuan awal dan akhir Ramadhan berkait erat dengan peredaran
dan perputaran bumi, bulan, dan matahari. Sama sekali tidak ada
kaitannya dengan batas negara yang dibuat manusia dan bisa berubah-ubah.
Jelaslah, perbedaan awal dan akhir puasa yang saat ini terjadi lebih
disebabkan oleh batas khayal yang dibuat oleh negara-negara kafir
setelah runtuhnya Daulah Khilafah Islamiyyah. Garis batas negara bangsa
itu pula yang mengoyak-oyak kesatuan Muslim dalam naungan satu khilafah
menjadi lebih dari lima puluh negara-negara kecil.
Khatimah
Perbedaan
awal dan akhir puasa di negeri-negeri Islam hanya merupakan salah satu
potret keadaan kaum Muslim. Kendati mereka satu ummat, namun secara
kongkrit umat Islam terpecah-pecah. Di samping masih mengeramnya paham
nasionalisme yang direalisasikan dalam bentuk nation state di
negeri-negeri Islam, keberadaan khilafah sebagai pemersatu ummat Islam
hingga sekarang belum berdiri (setelah khilafah Islamiyyah terakhir di
Turki diruntuhkan oleh kaum kuffar). Ketiadaan khilafah inilah
menjadikan kaum muslimin berpecah-pecah menjadi lebih dari lima puluh
negara kecil-kecil, yang masing-masing sibuk dengan urusannya
sendiri-sendiri.
Karena
itu, solusi mendasar yang benar untuk menyelesaikan semua problematika
kaum muslimin tersebut sesungguhnya ada di tangan mereka. Yaitu,
melakukan upaya dengan sungguh-sungguh bersama dengan para pejuang yang
mukhlish untuk melangsungkan kembali kehidupan Islam dengan
mengembalikan keberadaan Daulah Khilafah, mengangkat seorang khalifah
untuk menyatukan negeri-negeri mereka dan menerapkan syariْat
Allah atas mereka. Sehingga kaum muslimin bersama khalifah, dapat
mengemban risalah Islam dengan jihad kepada seluruh ummat manusia.
Dengan demikian kalimat-kalimat orang kafir menjadi rendah dan hina. Dan
sebaliknya, kalimat-kalimat Allah Swt menjadi tinggi dan mulia. Kaum
muslimin hidup dengan terhormat dan mulia di dunia, mendapatkan ridha
Allah Swt dan mendapatkan pahalanya di akhirat nanti. Allah Swt
berfirman:
وَقُلِ
اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ
وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ
بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Dan
katakanlah bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang
yang beriman akan melihat pekerjaanmu itu dan kamu akan dikembalikan
kepada (Allah Swt) yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata lalu
diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan (QS al-Taubah [9]: 105).
WaLlâh a’lam bi al-shawâb (Lajnah Tsaqafiyyah DPP HTI).
0 komentar:
Posting Komentar