@ Prof. Dr. -Ing. Fahmi Amhar
Tanggal 9 Maret 2016 mendatang, gerhana matahari total akan mengunjungi kembali Indonesia. Terakhir sekali gerhana semacam ini mengunjungi Indonesia tahun 1983. Namun gerhana kali ini cuma sekitar 3 menit, tidak seheboh 33 tahun yang lalu yang hampir 7 menit. Bagian yang akan menyaksikan 100% gerhana juga bukan Jawa yang berpenduduk padat, tetapi Ternate, Palu, hingga Bangka dan Palembang (garis G2 di gambar berikut).
Pada zaman Nabi, yakni 29 Syawal 10H./27 Januari 632M. terjadi gerhana matahari dengan persentasi puncak gerhana 82%. Malam hari sebelum gerhana, wafatlah Ibrahim putra Rasululloh dengan Maria Al-Qibtiyah (Istri Jariyah hadiah dari penguasa Mesir, Al-Mukaukis).
Al-Mughirah bin Syubah berkata, "Terjadi gerhana matahari di masa Rasul pada hari meninggalnya Ibrahim. Orang mengatakan, 'Matahari gerhana karena wafatnya Ibrahim.' Lalu Rasulullah bersabda, 'Sesungguhnya matahari dan bulan (adalah tanda tanda kebesaran Allah). Keduanya tidak gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang. Apabila kamu melihatnya, maka shalatlah (gerhana) dan berdoalah kepada Allah sehingga ia menjadi cerah kembali.'" (HR Bukhari).
Pernyataan Nabi ini mengakhiri tahayul dalam bentuk astrologi (ramalan bintang) yang selama itu menempel pada astronomi (ilmu perbintangan). Kajian astrologi diharamkan oleh para ilmuwan muslim, termasuk al-Farabi, ibn al-Haytham, ibnu Sina dan ibnu Ruysd. Alasannya, astrologi adalah aktivitas perdukunan, yang menurut Nabi, barangsiapa mempercayai kata dukun ramal, sholatnya akan tertolak selama empatpuluh hari.
"Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui." (QS Yunus:5).
Lahirlah “astronomi Islam”, yang lebih dari sekedar ilmu yang terkait persoalan ibadah, seperti arah qiblat, jadwal sholat dan hilal Ramadhan. Peradaban Islam telah melahirkan ratusan astronom besar, yang menciptakan teknik-teknik pengamatan dan alat-alat pengamatannya, ratusan rumus dan metode perhitungan, ratusan jenis tabel almanak astronomi dan ribuan nama bintang yang dengan nama-nama Arab – bahasa yang pernah sangat dominan di dalam dunia astronomi.
Astronomi berkembang oleh kebutuhan penjelajahan kaum muslim baik dalam rangka perburuan ilmu ke negeri-negeri yang jauh (seperti Tiongkok) maupun untuk menjawab tantangan jihad fi sabilillah. Pada saat itu, rival utama di dunia adalah Kekaisaran Romawi yang memiliki angkatan laut yang kuat di Laut Tengah. Untuk melawan angkatan laut diperlukan pula angkatan laut. Untuk menentukan posisi dan arah di tengah lautan diperlukan navigasi dengan astronomi. Makin teliti seorang navigator mampu menentukan posisinya di tengah laut dengan pengamatan matahari, bulan atau bintang, makin akurat mereka dapat menghitung waktu yang diperlukan untuk menuju sasaran, dan berapa logistik yang harus dibawa tanpa memberati kapal.
Meski awalnya, kaum muslim mempelajari kitab Almagest karya astronom Mesir kuno Ptolomeus, atau karya astronom India kuno Brahmagupta, namun semuanya kemudian direvisi dan jauh disempurnakan. Pada abad 11 M, tabel astronomi dari Al-Khawarizmi dan Maslamah bin Ahmad al-Majriti merupakan sumber informasi penting bagi orang Eropa, bahkan mereka gunakan untuk mempraktikkan astrologi.
Pada abad-11 M para astronom muslim sudah meragukan sistem geosentris Ptolomeus yang menjadikan bumi sebagai pusat alam semesta. Ibn al Haytsam yang menemukan ilmu optika dan membuat teleskop menunjukkan fenomena perjalanan planet Venus dan Mars tidak mungkin dijelaskan dengan model geosentris. Tokoh seperti al-Biruni, al-Battani, Ibnu Rusyd, al-Balkhi, al-Sijzi, al-Qazwini dan al-Shirazi telah mendiskusikan model Non-Ptolomeus dengan orbit elliptis, yang baru 500 tahun kemudian diadopsi menjadi model heliosentris oleh Copernicus dan Keppler.
Namun yang terpenting dari kontribusi umat Islam adalah metodologi. Astronomi telah dipisahkan dari filsafat, yang meski tampak logis namun berawal dari aksioma atau postulat yang boleh jadi tidak didasarkan pada realitas empiris yang lengkap. Astronom muslim menggunakan metode pengamatan empiris serta analisis matematika untuk menghasilkan rumusan umum yang dapat dipakai untuk prediksi yang sangat akurat. Suatu prediksi astronomi yang telah dibangun dari analisis data pengamatan yang akurat dan lama, misalnya prediksi gerhana matahari (yang sama dengan peristiwa ijtima’ setiap bulan), tidak pernah meleset lagi.
"Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah malam, Kami tanggalkan siang dari malam itu, maka dengan serta merta mereka berada dalam kegelapan. Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui. Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah ia seperti bentuk pelepah yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang, dan masing-masing beredar pada garis edarnya." (QS Yaasiin: 37-40).
Pada masa keemasan Islam, banyak orang kaya ataupun penguasa yang ingin menorehkan namanya dalam keharuman ilmu. Mereka wakaf suatu observatorium, lengkap dengan astronomnya untuk riset. Hasilnya adalah suatu tabel almanak astronomi yang paling mutakhir dan akurat di zamannya, termasuk yang sudah dapat dipakai untuk memastikan 9 Maret 2016 sebagai hari ketika gerhana tampak dari sini. Dan semuanya, tanpa perlu disertai dengan tahayul apapun. Sebaliknya semuanya justru makin mempertebal keimanan dan ketaqwaan manusia kepada Sang Pencipta.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, tiadalah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, maka peliharalah Kami dari siksa neraka." (QS Ali Imran:190-191). []
Dimuat di Tabloid Media Umat 169 - Maret 2016
Tanggal 9 Maret 2016 mendatang, gerhana matahari total akan mengunjungi kembali Indonesia. Terakhir sekali gerhana semacam ini mengunjungi Indonesia tahun 1983. Namun gerhana kali ini cuma sekitar 3 menit, tidak seheboh 33 tahun yang lalu yang hampir 7 menit. Bagian yang akan menyaksikan 100% gerhana juga bukan Jawa yang berpenduduk padat, tetapi Ternate, Palu, hingga Bangka dan Palembang (garis G2 di gambar berikut).
Pada zaman Nabi, yakni 29 Syawal 10H./27 Januari 632M. terjadi gerhana matahari dengan persentasi puncak gerhana 82%. Malam hari sebelum gerhana, wafatlah Ibrahim putra Rasululloh dengan Maria Al-Qibtiyah (Istri Jariyah hadiah dari penguasa Mesir, Al-Mukaukis).
Al-Mughirah bin Syubah berkata, "Terjadi gerhana matahari di masa Rasul pada hari meninggalnya Ibrahim. Orang mengatakan, 'Matahari gerhana karena wafatnya Ibrahim.' Lalu Rasulullah bersabda, 'Sesungguhnya matahari dan bulan (adalah tanda tanda kebesaran Allah). Keduanya tidak gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang. Apabila kamu melihatnya, maka shalatlah (gerhana) dan berdoalah kepada Allah sehingga ia menjadi cerah kembali.'" (HR Bukhari).
Pernyataan Nabi ini mengakhiri tahayul dalam bentuk astrologi (ramalan bintang) yang selama itu menempel pada astronomi (ilmu perbintangan). Kajian astrologi diharamkan oleh para ilmuwan muslim, termasuk al-Farabi, ibn al-Haytham, ibnu Sina dan ibnu Ruysd. Alasannya, astrologi adalah aktivitas perdukunan, yang menurut Nabi, barangsiapa mempercayai kata dukun ramal, sholatnya akan tertolak selama empatpuluh hari.
"Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui." (QS Yunus:5).
Lahirlah “astronomi Islam”, yang lebih dari sekedar ilmu yang terkait persoalan ibadah, seperti arah qiblat, jadwal sholat dan hilal Ramadhan. Peradaban Islam telah melahirkan ratusan astronom besar, yang menciptakan teknik-teknik pengamatan dan alat-alat pengamatannya, ratusan rumus dan metode perhitungan, ratusan jenis tabel almanak astronomi dan ribuan nama bintang yang dengan nama-nama Arab – bahasa yang pernah sangat dominan di dalam dunia astronomi.
Astronomi berkembang oleh kebutuhan penjelajahan kaum muslim baik dalam rangka perburuan ilmu ke negeri-negeri yang jauh (seperti Tiongkok) maupun untuk menjawab tantangan jihad fi sabilillah. Pada saat itu, rival utama di dunia adalah Kekaisaran Romawi yang memiliki angkatan laut yang kuat di Laut Tengah. Untuk melawan angkatan laut diperlukan pula angkatan laut. Untuk menentukan posisi dan arah di tengah lautan diperlukan navigasi dengan astronomi. Makin teliti seorang navigator mampu menentukan posisinya di tengah laut dengan pengamatan matahari, bulan atau bintang, makin akurat mereka dapat menghitung waktu yang diperlukan untuk menuju sasaran, dan berapa logistik yang harus dibawa tanpa memberati kapal.
Meski awalnya, kaum muslim mempelajari kitab Almagest karya astronom Mesir kuno Ptolomeus, atau karya astronom India kuno Brahmagupta, namun semuanya kemudian direvisi dan jauh disempurnakan. Pada abad 11 M, tabel astronomi dari Al-Khawarizmi dan Maslamah bin Ahmad al-Majriti merupakan sumber informasi penting bagi orang Eropa, bahkan mereka gunakan untuk mempraktikkan astrologi.
Pada abad-11 M para astronom muslim sudah meragukan sistem geosentris Ptolomeus yang menjadikan bumi sebagai pusat alam semesta. Ibn al Haytsam yang menemukan ilmu optika dan membuat teleskop menunjukkan fenomena perjalanan planet Venus dan Mars tidak mungkin dijelaskan dengan model geosentris. Tokoh seperti al-Biruni, al-Battani, Ibnu Rusyd, al-Balkhi, al-Sijzi, al-Qazwini dan al-Shirazi telah mendiskusikan model Non-Ptolomeus dengan orbit elliptis, yang baru 500 tahun kemudian diadopsi menjadi model heliosentris oleh Copernicus dan Keppler.
Namun yang terpenting dari kontribusi umat Islam adalah metodologi. Astronomi telah dipisahkan dari filsafat, yang meski tampak logis namun berawal dari aksioma atau postulat yang boleh jadi tidak didasarkan pada realitas empiris yang lengkap. Astronom muslim menggunakan metode pengamatan empiris serta analisis matematika untuk menghasilkan rumusan umum yang dapat dipakai untuk prediksi yang sangat akurat. Suatu prediksi astronomi yang telah dibangun dari analisis data pengamatan yang akurat dan lama, misalnya prediksi gerhana matahari (yang sama dengan peristiwa ijtima’ setiap bulan), tidak pernah meleset lagi.
"Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah malam, Kami tanggalkan siang dari malam itu, maka dengan serta merta mereka berada dalam kegelapan. Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui. Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah ia seperti bentuk pelepah yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang, dan masing-masing beredar pada garis edarnya." (QS Yaasiin: 37-40).
Pada masa keemasan Islam, banyak orang kaya ataupun penguasa yang ingin menorehkan namanya dalam keharuman ilmu. Mereka wakaf suatu observatorium, lengkap dengan astronomnya untuk riset. Hasilnya adalah suatu tabel almanak astronomi yang paling mutakhir dan akurat di zamannya, termasuk yang sudah dapat dipakai untuk memastikan 9 Maret 2016 sebagai hari ketika gerhana tampak dari sini. Dan semuanya, tanpa perlu disertai dengan tahayul apapun. Sebaliknya semuanya justru makin mempertebal keimanan dan ketaqwaan manusia kepada Sang Pencipta.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, tiadalah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, maka peliharalah Kami dari siksa neraka." (QS Ali Imran:190-191). []
Dimuat di Tabloid Media Umat 169 - Maret 2016
0 komentar:
Posting Komentar