Taman, di manapun, selalu diasosiasikan sebagai tempat yang indah, penuh warna, dengan ragam pepohonan dan bunga warna-warni, harum semerbak; baik ia ada di depan atau belakang rumah mewah; baik ia ada di sekeliling istana para raja; atau mungkin ia merupakan tempat tersendiri yang sengaja dirancang sebagai tempat rekreasi dan wisata. Taman selalu diasosiasikan dengan keindahan. Tak ada taman yang diasosiasikan dengan keburukan. Demikianlah realitas taman di dunia ini.
Namun demikian, seindah apapun taman di dunia tak pernah ada yang kemudian disebut dengan ‘taman surga’. Karena itu, menarik saat justru Baginda Rasulullah SAW menyebut-nyebut adanya ‘taman surga’, bukan di surga, tetapi di dunia ini. Anas bi Malik menuturkan bahwa Baginda Rasulullah SAW pernah bertanya kepada para Sahabat, “Jika kalian melewati taman-taman surga, makan dan minumlah di dalamnya.” Para Sahabat bertanya, “Apakah taman surga itu, wahai Rasulullah?” Jawab beliau, “Halaqah-halaqah (majelis-majelis) ddzikir.” (HR at-Tirmidzi).
Melalui hadits ini, tegas Rasulullah menyamakan majelis ddzikir dengan taman surga, tentu dari sisi kemuliaan dan keutamaannya, sekaligus menyebut orang yang ada di majelis-majelis ddzikir sebagai orang-orang yang sedang menikmati hidangan di taman-taman surga itu (Syarh Ibn Bathal, II/5).
Keutamaan taman surga tentu tak bisa dibandingkan dengan taman dunia. Sebab, surga itu sendiri dan apa saja yang ada di dalamnya belum pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga atau terbersit di dalam kalbu manusia (Tafsir ath-Thabari, XVII, 346).
Lalu apa yang dimaksud dengan majelis dzikir? Dalam hadits lain Rasul SAW menyebut taman-taman surga itu dengan majelis-majelis ilmu. Inilah yang juga dipahami oleh para Sahabat seperti Abu Hurairah ra dan Ibn Mas’ud ra (Fauzi Sinaqart, At-Taqarrub iilla Allah). Imam al-Qurthubi juga menyebut majelis-majelis dzikir yang dimaksud adalah majelis ilmu tentang halal dan haram. Adapun menurut Imam a-Ghazali, yang dimaksud adalah majelis ilmu-ilmu akhirat; ilmu tentang Allah SWT dan kekuasaan-Nya serta penciptaan-Nya (Faydh al-Qadir, I/696).
*****
Terkait ilmu dan keutamaan majelis ilmu, juga kemuliaan para pencarinya, diterangkan oleh banyak hadits, selain hadits di atas. Baginda Rasulullah SAW, misalnya, pernah bersabda, “Mencari ilmu adalah kewajiban setiap Muslim.” (HR Muslim).
Katsir bin Qays berkata:
Saya pernah duduk bersama Abu ad-Darda di Masjid Damakus. Tiba-tiba datang seseorang kepada dia dan berkata, “Wahai Abu ad-Darda, saya datang kepada engkau dari Madinatur Rasul SAW demi memastikan suatu hadits yang sampai kepada diriku, bahwa engkau pernah membicarakan hadits itu dari Rasul SAW, yang tentu sangat aku butuhkan.”
Abu ad-Darda lalu berkata, “Aku memang pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu, niscaya Allah akan membuka bagi dirinya salah satu jalan di antara jalan-jalan menuju surga. Sesungguhnya para malaikat benar-benar meletakkan sayap-sayap mereka karena ridha kepada pencari ilmu. Sesungguhnya seorang yang berilmu (ulama) benar-benar dimintakan ampunan kepada Allah bagi dirinya oleh siapa saja yang ada di langit dan di bumi, hingga bahkan ikan-ikan di air. Sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu atas orang yang suka beribadah adalah seperti keutamaan cahaya bulan purnama atas cahaya seluruh bintang di malam hari. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi itu tidak mewariskan dinar atau dirham, tetapi mewariskan ilmu. Karena itu, siapa saja yang mengambil ilmu, berarti dia telah mengambil sesuatu yang amat berharga.” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah dan Ahmad).
Generasi salafush-shalih adalah orang-orang yang amat memahami keutamaan ilmu dan majelis ilmu. Lalu bagaimana dengan generasi umat Islam hari ini? Sayang, meski kebanyakan majelis ilmu itu gratis, padahal menjanjikan keutamaan yang luar biasa saat hadir di dalamnya sebagaimana sabda Baginda Rasulullah SAW di atas, tak banyak orang yang berbondong-bondong untuk menghadirinya. Buktinya, meski majelis ilmu menjamur di mana-mana, biasanya yang hadir jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Bandingkan dengan “majelis sepak bola” atau “majelis konser musik”; meski setiap orang harus mengeluarkan puluhan atau bahkan ratusan ribu untuk membeli karcis masuk, toh peminatnya selalu membludak walau harus berdesak-desakan. Padahal jelas, “majelis-majelis” semacam ini tak menjanjikan apa-apa selain kesenangan sesaat. Itulah realitas generasi umat hari ini. Mereka benar-benar telah ‘buta’, tak lagi dapat melihat keutamaan dan keindahan taman-taman surga. Na’udzu billah min dzalik. [] abi
Sumber: http://www.hizbut-tahrir.or.id
0 komentar:
Posting Komentar